ilustrasi/net
ilustrasi/net
ilustrasi/net

Akhir-akhir ini istilah Pungli menjadi perbincangan banyak orang. Pungli yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan akronim dari Pungutan Liar ini, memiliki kata turunan memungli yang berarti, meminta sesuatu (uang dan sebagainya kepada seseorang (lembaga, perusahaan dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim.

Pungliitu sebenarnya serupa hantu, keberadaannya tidak diakui tetapi dirasakan oleh semuaPlapisan. Sudah menjadi rahasia umum dalam kehidupan sehari-hari terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik, Pungli selalu menjadi celah bagi oknum dari suatu institusi untuk memperkaya diri. Tentu saja semuanya di luar sistem, transaksinya pun dilakukan dengan diam-diam. Si pemberi dan pemungut Pungli seakan memiliki kesepakatan tak tertulis, persoalan akan menjadi lancar kalau ada sejumlah pelicin. Dengan kata lain banyak persoalan yang pada akhirnya bisa diselesaikan dengan uang.

Pungli adalah budaya memalukan yang mengakali lemahnya pengawasan dalam birokrasi. Celakanya lagi, karena sudah berlangsung begitu lama, masyarakat sering menganggapnya seba-gai hal yang biasa. Di Indonesia Pungli bahkan dianggap sebagai hal yang jamak terjadi. Meskipun hal ini tergolong ke dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) nyatanya kebiasaan buruk ini su-sah sekali diberantas. Tak heran Presiden Joko Widodo menyatakan kegundahannya dan secara terbuka menyatakan kemarahannya ke hadapan publik.

Kemarahan Presiden tentu mewakili kegundahan masyarakat yang tidak bisa berbuat banyak untuk melawannya. Karenanya, Pungli seharusnya menjadi musuh bersama karena akibat buruknya bersifat masif yang merugikan bangsa dan negara. Menurut hasil studi dari Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) pada tahun 2004, biaya pungli yang dikeluarkan oleh para pengusaha di sek-tor industri manufaktur berorientasi ekspor saja, pertahunnya bisa mencapai Rp 3 triliun. Jum-lahnya sangat fantastis apalagi kalau ditambah dengan sektor-sektor lainnya

Dalam skala yang lebih spesifik, Pungli juga menjadi masalah serius di dunia pendidikan. Sudah banyak cerita yang mengemuka tentang hal ini. Sekolah bahkan dianggap sudah berorientasi kepa-da profit karena banyaknya pungutan yang dibebankan kepada orangtua. Meski begitu, tampaknya kita juga harus arif memandang persoalan ini, dengan kata lain tidak semua kebijakan yang berkait-an dengan uang bisa disebut Pungli.

Kalau merujuk pada pengertian di atas, kebijakan pemungutan dana oleh sekolah baru bisa dikatakan Pungli apabila prosesnya dilakukan tidak sesuai aturan, penggunaan dananya tidak jelas dan tidak transparan dan tanpa ada persetujuan semua stake holder (komite sekolah, orang tua siswa dan instansi terkait). Pungutan dana kepada orang tua bisa saja tidak masuk kategori Pungli selama pihak sekolah berpegang pada prinsip akuntabilitas dan transparansi

Kini langkah pemberantasan Pungli sudah digaungkan bahkan dilembagakan dengan membentuk Satgas Saber Pungli (Sapu Bersih Pungutan Liar). Sebelum semuanya menjadi terlambat, tampak-nya pihak terkait perlu mengeluarkan edaran/rambu-rambu hal-hal apa saja yang termasuk Pungli.

Hal ini menjadi penting agar para pelaku pendidikan tidak dicekam ketakutan saat mengambil kebijakan. Di luar konteks Pungli yang memang harus diberantas sampai akar-akarnya. Kita juga harus mulai berpikir memberikan ruang partisipasi yang sehat kepada masyarakat dalam mem-bantu pendidikan. Sebagaimana amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyatakan Pendidikan itu adalah tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.

Membiarkan sekolah melakukan Pungli adalah kesalahan besar,tetapi akan menjadi dosa besar kalau membiarkan sekolah berjuang sendiri dalam mengelola pendidikan . Kalau hal ini terjadi, pen-didikan kita tidak akan pernah kemana-mana dan tidak akan pernah menghasilkan apa-apa selain prasangka satu sama lain. (*)

 

 

KANDAGA | EDISI 89 | THN. VIII | DESEMBER