KANDAGA.ID – Sudah 74 tahun Republik Indonesia berdiri dan selama itu pula permasalahan pendidikan nasional belum bisa menemukan jalan terang. Salah satu permasalahan yang sangat mendasar tentu saja berkaitan dengan guru. Padahal tidak bisa dipungkiri peran guru sangatlah strategis bagi kemajuan bangsa di masa depan. Tanpa guru cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 mustahil akan tercapai.

Kesejahteraan guru yang masih jauh dari harapan menjadi isyu yang mengemuka di setiap era. Semakin menyesakan apabila isyu kesejahteraan ini dihubungkan dengan keberadaan guru honorer yang jumlahnya sangat besar. Para tenaga sukarelawan ini, harus bertugas mencerdaskan anak bangsa dengan imbalan yang sangat pas-pasan, walaupun beban kerjanya sama dengan PNS, bahkan ada yang melebihi beban kerja PNS karena ada merangkap menjadi Operator Sekolah. Untuk menyambung hidup, banyak diantara mereka yang harus pontang-panting mencari pekerjaan sampingan yang hasilnya juga tidak seberapa.

Praktisi pendidikan , Idris Apandi dalam artikelnya di kompasiana.com menyatakan, jika dihitung secara matematis, maka sangat tidak rasional, seorang guru honorer membiayai hidupnya dengan honor sejumlah itu. Menurutnya, pada umumnya aturan pemberian honor di sekolah walau mengajar tatap muka sebulan, tapi honor yang diberikan adalah seminggu. Misalnya jika dalam seminggu mengajar 10 jam dan honor perjamnya adalah Rp 20.000, maka honornya adalah 10 JP x Rp 20.000 = Rp 200.000. Itulah take home pay yang dibawa oleh seorang guru honorer walau secara de facto dia mengajar selama 40 JP dalam satu bulan.

Permasalahan guru honorer ungkap Idrus, memang tidak hanya dapat dilihat dari hilirnya, tetapi dari hulunya. Guru-guru honorer diangkat oleh sekolah negeri dan swasta, dan jumlahnya memang semakin tidak terkendali seiring bertambahnya jumlah sekolah, utamanya sekolah-sekolah swasta.

“Sebenarnya sudah ada larangan sekolah negeri mengangkat guru honorer, dan diminta mengoptimalkan guru-guru PNS, tetapi faktanya memang sekolah-sekolah negeri utamanya pada jenjang SD banyak yang kekurangan guru. Hal tersebut adalah dampak dari tidak meratanya persebaran guru. Di satu daerah ada yang kelebihan guru, sedangkan di daerah lain kekurangan guru,” tegasnya

Idris tak memungkiri, pemerintah memiliki keterbatasan dalam anggaran, tetapi tuntutan para guru honorer untuk diperhatikan kesejahteraannya juga tak dapat dikesampingkan karena kalau bersandar pada Undang-Undang Guru dan Dosen, Pasal 14 ayat (1) huruf a, dinyatakan dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru berhak “memperoleh penghasilan di atas kebutuhan kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahateraan sosial.”

Pasal tersebut berlaku terhadap semua guru, baik guru PNS maupun pun bukan PNS alias guru honorer. Hal inilah yang terus memacu guru-guru honorer untuk terus memperjuangkan nasibnya. Mereka bersatu membuat organisasi, melakukan audiensi dengan pemerintah, unjuk rasa menuntut perhatian pemerintah meningkatkan kesejahteraan mereka. Bagi guru-guru honorer yang belum diangkat menjadi PNS, minimal mendapatkan upah setara UMK atau ada tunjangan khusus.

Tak hanya soal kesejahteraan, ternyata masih banyak persoalan elementer yang dihadapi para guru di Indonesia. Dilansir kabarsenayan.com, Indonesia Corruption Watch menguak setidaknya ada enam masalah pokok yang berkaitan dengan guru. Sebagian besar bersumber dari faktor eksternal terutama berkaitan dengan kebijakan dan koordinasi antar-instansi.

Dari hasil pemetaan yang dilakukan di Lebak, Pandeglang, Bandung, Jakarta, Garut, Kediri, dan Tasikmalaya, terungkap setidaknya ada masalah pokok guru di Indonesia yaitu: (1) rekrutmen guru; (2) guru, status, dan kesejahterannya; (3) pengembangan karir guru; (4) distribusi guru yang tidak merata; (5) manajemen guru secara nasional: sentralisasi atau desentralisasi; dan (6) politisasi guru.

Peneliti ICW, Ade Irawan memaparkan, untuk rekrutmen guru, misalnya, tidak ada standarisasi proses rekrutmen yang jelas. Masalah rekrutmen sudah dimulai di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang umumnya menjadi pilihan kedua atau ketiga bagi anak-anak terbaik.

”Carut marut dalam mekanisme rekrutmen juga secara perlahan telah membentuk kastanisasi dalam guru. Walau secara umum kewajiban guru PNS, guru honor daerah, dan guru honor sekolah sama, tapi haknya berbeda,” ujarnya.

ICW juga menemukan, belum ada kebijakan maupun mekanisme yang menggambarkan dengan jelas tahapan karir guru. Guru-guru berstatus pengawai negeri memperoleh ruang yang lebih besar untuk mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan dibanding guru-guru honorer atau guru swasta. Evaluasi kinerja yang terkait dengan kebutuhan peningkatan kapasitaspun tidak dijalankan dengan baik. Selain masalah tersebut, masalah klasik terkait distribusi guru yang tidak merata tetap tak terselesaikan. Manajemen guru secara nasional dan perdebatan panjang terkait sentralisasi atau desentralisasi pengelolaan guru menambah panjang masalah.

Atas hal tersebut ICW bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan mengusulkan beberapa rekomendasi yaitu:

a). Pemerintah dan pemerintah daerah membuat pemetaan yang lebih sistematis guna mendapatkan gambaran masalah dan kebutuhan guru. Gambaran yang lebih sistematis akan membuat pemerintah bisa menentukan prioritas dan metoda penyelesaian masalah sehingga kebijakan yang digulirkan tidak lagi parsial;

b). Harus ada penguatan koordinasi antar-instansi terutama pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka memperbaiki mekanisme rekrutmen, peningkatan kesejahteraan, peningkatan kompetensi dan karir, serta evaluasi guru;

c). Mencegah berkembangnya kastanisasi dalam guru di sekolah antara lain dengan cara memperbaiki mekanisme rekrutmen dan memperjelas hak-hak maupun kewajiban untuk guru-guru honorer;

d). Pemerintah harus ‘mengontrol’ kualitas dan jumlah lulusan LPTK negeri maupun swasta agar calon guru memiliki kompetensi yang bagus.;

e). Pemerintah mengantisipasi politisasi guru menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak dengan cara membuat edaran kepada daerah-daerah yang menyelenggarakan pemilihan agar tidak melibatkan guru dalam proses kampanye dan membuat mekanisme pengaduan bagi guru-guru yang dipaksa untuk terlibat dalam proses pemenangan maupun dikorbankan pasca-pemilihan. (Herdy M Pranadinata)***