majalah-kandaga-edisi-87-bulan-oktober-2016

 

majalah-kandaga-edisi-87-bulan-oktober-2016
majalah-kandaga-edisi-87-bulan-oktober-2016

SUDAH jatuh tertimpa tangga. Peribahasa ini rasanya cukup tepat untuk menggambarkan banyaknya peristiwa mengenaskan yang terjadi di Kabupaten Garut akhir-akhir ini. Belum reda pemberitaan mengenai dipangkasnya Dana Alokasi Umum (DAU) senilai Rp 320 miliar, tiba-tiba bencana banjir bandang meluluh-lantakan sejumlah kawasan.

Tak hanya menimbulkan kerugian materi, yang memilukan bencana ini memakan korban jiwa hingga puluhan orang. Kalau boleh mengutip sebuah babasan yang berbunyi “Katurug Katutuh”, situasi yang kita alami saat ini semuanya serba tidak menguntungkan. Betapa tidak belum selesai satu masalah, sudah datang lagi masalah baru yang begitu menyesakan.

Semua peristiwa yang terjadi beriringan ini, kalau mengutip istilah Bupati Rudy dalam beberapa kesempatan benar-benar menimbulkan “Turbulensi”. Kali ini Garut benar-benar terguncang, Pemkab Garut yang sedang kelimpungan menutupi devisit keuangan, kini pekerjaannya bertambah berat karena harus mengatasi bencana banjir bandang yang cukup masif. Semuanya terasa kompleks, karena perlu ditangani dengan cepat, kalau terlambat atau penanganannya tidak tepat, tidak menutup kemungkinan semua ini akan menjadi bom waktu yang akan berdampak buruk bagi kita semua.

Sedikit berbeda dengan penundaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang tidak terlalu berdampak langsung pada kehidupan masyarakat umum. Tampaknya bencana banjir bandang benar-benar menjadi tantangan yang harus segera diselesaikan. Tak hanya sekedar merehabilitasi kawasan yang terkena bencana dan menyembuhkan trauma para korban yang selamat. Lebih dari itu Pemkab Garut harus benar-benar menuntaskan penanganan bencana banjir bandang dengan cara mencari akar permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa memilukan ini.

Di luar faktor alam, kita harus jujur, bencana banjir bandang kali ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kerusakan alam di hulu sungai Cimanuk. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Provinsi Jawa Barat menegaskan, bencana banjir dipicu akibat kerusakan di hulu sungai Cimanuk. Kerusakan itu bahkan sudah mencapai 60 % akibat hutan beralih fungsi menjadi kawasan pertanian dan kawasan wisata. Kawasan hulu sungai Cimanuk seluas 59.000 hektar, sekitar 4.000 hektar diantaranya sudah termasuk dalam kategori kritis dan sangat kritis. Sedangkan di luar hutan lindung kawasan yang berstatus sama mencapai 3.000 hektar.

Melihat data dan fakta itu, tentu saja orang awam pun bisa menyimpulkan, selama ini kita telah salah langkah dalam merawat dan melestarikan alam. Kini kita mendengar semua pihak saling menyalahkan, Pemkab Garut menuding Perhutani bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi, di sisi lain BUMN ini menolak untuk disalahkan. Tentu saja, kalau hal ini dibiarkan terus berkembang hanya akan menimbulkan debat yang tak berkesudahan. Solusinya hanya satu, mari mulai menata ulang semuanya dengan duduk bersama. Sete lah itu, semuanya harus bersepakat untuk saling menjaga dan mengingatkan dengan konsisten.

Merehabilitasi dan mengkonservasi kawasan hulu Cimanuk adalah keharusan karena dengan cara itu masa depan masyarakat Garut akan tetap terjaga dan terlindungi. Sekali lagi, bencana ini harus jadi momentum untuk memperbaiki diri, karena kalau penyelesainnya hanya seperti pemadam kebakaran, niscaya bencana serupa setiap saat akan mengancam kita. (*)