kandaga.id – Dimasa pandemik Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ini, hampir semua dilayani serba online, termasuk di bidang pendidikan. Mulai dari pembelajaran, ujian, dan lainnya termasuk pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masuk SMP, SMA/Sederajat, maupun pada Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB).

Menghadapi kondisi ini, hampir semua jenjang tidak siap dengan sistem online, meskipun ada institusi yang punya kemampuan untuk melakukan penyesuaian dengan cepat, ada juga pembatasan yang dimilikinya karena keterbatasan sarana prasarana, SDM, dan sistemnya.

“Kalau berbicara tentang sistem, kan harus ditetapkan dulu, harus dipahami dulu. Bagaimana prosedurnya. Karena yang sekarang tidak sangat berbeda jauh dengan apa yang sudah dilakukan selama ini, itu ada adjustment-adjustment penyesuaian,” ujar Rektor UNIGA, Dr. Ir. H. Abdusy Syakur Amin, M.Eng., di ruang kerjanya, Senin (15/6/2020).

Menurutnya, ini bisa disesuaikan, bisa diselesaikan kalau ada komunikasi yang intens dengan semua pihak terkait, yaitu dengan dinas pendidikan, sekolah, dalam hal ini bukan hanya kepala sekolah tetapi juga guru-gurunya.

“Menurut saya ini juga sangat penting, karena siswa itu ada guru-gurunya yang biasanya ada beberapa grup-grup WhatsApp khusus yang bicara tentang satu kelas, itu bisa didiskusikan. Ujungnya konsistensi kita di dalam melaksanakan prosedur yang kita tetapkan. Ini mungkin yang jadi permasalah utama,” ucapnya.

Dia mengatakan, kalau ada permasalahan kita duduk bersama, ini juga jangan terlalu kaku. Artinya seperti jadwal-jadwal juga bisa dibicarakan.

“Bisa dibayangkan STTB itu nilainya dari mana? Itu juga, ada yang mengambil dari nilai raport, ada yang dari nilai beberapa bulan yang lalu. Itu juga kan sangat fleksibel. Artinya, kita berusaha untuk membuat penyesuaian-penyesuaian yang ada, tanpa merugikan berbagai pihak,” ujarnya.

Kalau memang rumit, kata Syakur, jangan sampai dipaksakan dari tanggal sekian, sebentar dulu, kasihan, karena ada beberapa pihak yang dirugikan.

“Ini ada penyesuaian bagi semua pihak, mereka kumpul bersama-sama, seperti apa solusinya. Karena memang di penyesuaian ini sebenarnya tidak ada masalah. Karena ini sesuatu yang tidak bisa kita hindari, dan saya berpikir ini juga bukan hanya terjadi di Garut, hampir di semua juga seperti ini,” jelasnya.

Dulu kata Syakur, yang mana nilai Ujian Negara (UN) itu yang standar, sekarang kan tidak ada. Apa yang jadi standar sekarang? Nilai raport, nilai raport kan setiap sekolah punya penilaian yang mungkin agak berbeda. Sehingga tidak ada tidak ada perbandingan appeal to appeal.

“Disini nilai kelas 9, disini nilai 8 bagus yang mana? Belum tentu yang 9 bagus, karena kan tidak ada ukuran appeal to appeal, karena kan dulu nilai ujian nasional, yang nilai 9 dan yang nilai 8, otomatis yang 9 bagus, sekarang kan tidak ada. Ini juga harus punya fleksibilitas oleh semua pihak, beritikad baik semuanya. Ayo semua bersama-sama kumpul, kalau ada masalah diperbaiki,” ujarnya.

Intinya jelas Syakur, fleksibilitas, karena siapa sih yang saling siap?, di gelombang pertama PMB online UNIGA ini, mengalami penurunan meskipun tidak begitu besar antara 10-15%, dibandingkan dengan tahun kemarin PMB konvensional datang secara tatap muka. Dan di gelombang II belum ketahuan seperti apa, karena belum selesai.

“Kelihatannya tren mulai menurun, karena biasanya orang yang paham itu cepat-cepat, tapi orang yang ingin daftar masih kebingungan. Ini seperti apa, caranya gimana, dan segala macam, ini juga masih menunggu-nunggu,” ucap Syakur, yang diketahuinya, mereka masih berharap bahwa penasaran yang sifatnya tatap muka langsung atau konvensional.

Syakur menegaskan, tidak perlu kemudian ngotot harus online, meskipun Negara sudah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), jadi ada penyesuaian karena tidak ada masalah.

“Silahkan saja buka tetapi memenuhi prosedur protokol kesehatan, kalau ada ketidakpahaman orang tua, ketidaksiapan di sekolahnya. Karena sekolah harus ngurus yang masuk, ngurus yang keluar, itu kan jadi masalah dua-duanya,” ujarnya.

Menurutnya, kalau mengambil kebijakan juga yang fleksibel, fleksibel juga yang istiqamah artinya jangan mentang-mentang fleksibel jangan sampai sewenang-wenang, artinya kan berbeda yang fleksibel dengan sewenang-wenang.

“Itu mungkin yang bisa kita lakukan bersama, supaya kita bisa melakukan asas pendidikan yang adil, proporsional. Jangan sampai ada orang yang merasa hebat, tapi karena dia tidak bisa daftarkan diri karena tidak tahu, karena ini itu, kasihan,” ungkapnya.

Untuk itu, tambah Syakur, kita dengan Fleksibel, proporsional dan partisipatif. Karena ini bukan satu dua pihak, tapi semua pihak bertanggungjawab, sekolah, dinas, siswa, orang tuanya, dan protapnya.

“Mungkin protap atau prosedur tetapnya tidak diketahui seutuhnya oleh sekolah, jangan sampai hanya diserahkan saja suratnya, tidak dibaca terlebih dahulu maksud dan tujuannya buat apa. Apalagi dalam bentuk softcopy itu tambah puyeng.

Sebenarnya, kata Syakur, kejadian ini tidak ada yang menebak sebelumnya akan seperti ini. Jadi kalau ada keterbatasan ya fleksibel lah.

“Jadi kalau ada keterbatasan cepat-cepat sosialisasi. Terus buat apa juga cepat-cepat, kan guru-guru pun belum tentu cepat-cepat ke sekolah. Karena sekolah pun yang saya dengar paling-paling awal tahun depan,” ujar Syakur, mungpung ada waktu, ada kesempatan, lebih baik rapih-rapihlah. Meskipun ada informasi dimulai bulan Juli, itu pun kan dengan pembatasan, tapi belum tentu dimulainya pembelajaran.

Selain itu, pungkas Syakur, jika ada permasalahan jumlah peserta didik, itu juga harus jadi evaluasi. Apa karena tidak tahu, apa karena tidak terakomodir. Ujungnya kita kan harus cari solusinya yaitu fleksibel.

“Sebenarnya sekarang itu tidak terburu-buru, makanya kita harus damai, cari solusinya seperti pepatah Sunda “Caina herang laukna beunang”, fleksibel, adil, dan proporsional,” pungkasnya. (Jajang Sukmana)***