Oleh: Ai Kustini, S.Pd.I, M.Pd. (Guru PAI SMPN 2 Cikajang Kabupaten Garut)

ABSTRAK

Upaya memperkuat jati diri bangsa bagi kalangan pelajar telah mejadi fokus utama bangsa Indonesia. Hal ini mengingat perilaku negatif bahkan kriminal di kalangan pelajar, jelas kontrakdiktif dengan tujuan pendidikan nasional dan bahkan tidak mencerminkan karakter Pancasila sejati. Artikel ini disusun bertujuan untuk mengeskplorasi bagaimnana PAI mampu secara positif berkontribusi dalam mewujudkan visi pembangunan nasional dan kebijakan sekolah penggerak. Melalui metode library research dihasilkan temuan bahwa kebijakan sekolah penggerak secara eksplisit bertujuan untuk mengembangkan secara holistik kompetensi dan karakter pelajar Pancasila. Bagi PAI, pengembangan kurikulum dan proses adaptif ini tidak akan terlalu sulit mengingat dari kelima ruanglingkup materi memfokuskan pada perwujudan karakter religius dalam arti luas, yakni kekokohan keyakinan, ketaatan ibadah, dan diimplementasikan dalam dua bentuk kehidupan sosial, baik dalam hubungan interpersonal (aspek karakter moral) maupun dalam penggerak peradaban (aspek karakter kinerja), ini sangat koheren dengan visi pendidikan nasional dan kebijakan sekolah penggerak.

Pendahuluan: PAI dalam Posisi Globalisasi Abad-21

Isu tentang bagaimana mempersiapkan siswa dalam menghadapi globalisasi dengan segala dampaknya telah menjadi trend pembahasan berbagai negara di dunia (Boyer & Crippen, 2014; Ching Sing, Liang, Tsai, & Dong, 2020). Di abad-21 ini, teknologi berbasis digital online kian digandrungi kalangan siswa dan telah menjadi gaya hidup baru mereka. perubahan ini sudah barang tentu berdampak pada transformasi perkembangan sosial mereka; dari nyata menjadi maya (Daryanto, 2017). Ibarat dua sisi mata uang, perkembangan teknologi ini memiliki sisi positif dalam memfasilitasi literasi para siswa secara cepat dan tanpa batas, namun sisi lainnya justru memiliki risiko ke arah negatif yang memperlihatkan karakter buruk bermedia sosial yang tak jarang berakhir menjadi tindakan kriminal yang mereka selesaikan di dunia nyata. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, risiko negatif itu kian menghawatirkan, hal ini terlihat dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menginformasikan bahwa kasus bully, pelecehan seksual, tawuran antar pelajar yang dipicu sosial media menunjukkan frekuensi tinggi. Dalam rentang tahun 2018 dan 2019 saja tak kurang dari 96 kasus pelecehan seksual dan 112 kasus pem-bully-an yang berakhir menjadi perkelahian dan tawuran (Fajar, 2018; Suciatiningrum, 2019).

Perilaku negatif bahkan kriminal di kalangan pelajar yang terjadi itu, jelas kontrakdiktif dengan tujuan pendidikan nasional dan bahkan tidak mencerminkan karakter Pancasila sejati. Jika menengok tujuan pendidikan nasional, maka gambaran siswa setelah mereka menempuh pendidikan di sekolah seharusnya mengindikasikan perilaku dengan karakter yang mencerminkan pribadi beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, menguasai kompetensi keilmuan, terampil, demokratis, dan bertanggung jawab (lihat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003). Karakter-karakter demikian tentu dalam rangka mewujudkan karakter Pancasila dengan lima sila esensial; peri ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Performa karakter tersebut sangat penting dimiliki para pelajar, oleh karena secara realitas, negara dan bangsa Indonesia sangat berbhineka (Maarif, 2015; Sauri, 2010; Sumantri, 2011).

Dalam upaya memperkokoh jati diri bangsa bagi kalangan pelajar, bidang pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis, dan berkaitan dengan fakta-fakta sebelumnya, maka sekolah sudah seharusnya menempatkan dalam posisi sebagai penggerak. Syaratnya adalah seluruh komponen sekolah harus berjalan seirama dan berpadu secara harmonis. Sebagai bagian di dalamnya dari komponen sekolah, Pendidikan Agama Islam (PAI) harus adaptif dan mendukung kebijakan sekolah penggerak dan secara terbuka berani mengambil terobosan-terobosan dalam pengembangan kurikulum.

Metode

Untuk membedah fokus artikel ini, metode library reseach penulis gunakan. Sebagaimana fokusya, artikel ini membahas tentang bagaimana optimalisasi peran PAI dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional dalam dinamika kebijakan baru sekolah penggerak. Langkah-langkah dalam mengimplementasikan metode library researh dalam artikel ini, penulis mengacu kepada pendapat Danandjaja (2014), yang terdiri atas; (1) mengkaji literatur yang berkaitan dengan fokus artikel; (2) pengumpulan literatur-literatur yang memiliki kaitan dengan fokus; dan (3) menganalisis literatur-literatur yang telah dikumpulkan yang memiliki kaitan yang erat dengan fokus. Keputusan penulis menggunakan metode library reseach ini oleh karena ternyata metode ini telah digunakan pula peneliti dan penulis lain untuk membedah kajian mereka, dan termasuk mereka terapkan dalam penelitian bidang pendidikan (Pratama & Zulhijra, 2019; Sari & Asmendri, 2020; Surani, 2019).

Berdasarkan pada tiga langkah tersebut, maka langkah dalam penyusunan artikel ini adalah: Pertama, menelusuri literatur-literatur yang berkaitan dengan kebijakan sekolah penggerak. Oleh karena kebijakan sekolah penggerak erat kaitannya dengan pembentukkan karakter pelajar Pancasila, maka literatur yang berkaitan dengan pendidikan karakter ditelusuri pula oleh penulis. Di samping itu, literatur tentang PAI sebagai inti yang menjadi proyeksi pengembangan dalam komponen kurikulum termasuk yang dianalisis. Kedua, artikel tentang kebijakan sekolah penggerak, pendidikan karakter, dan tentang PAI di SMP yang sangat berkaitan kemudian dikumpulkan. Ketiga, literatur-literatur yang berkaitan dan sudah dikumpulkan tersebut kemudian dianalisis.

PEMBAHASAN

Tren Kebijakan Negara dan Pendidikan Karakter Bangsa

Upaya memperkuat jati diri bangsa bagi kalangan pelajar telah mejadi fokus utama di berbagai negara, bahkan negara besar dan maju sekalipun. Inggris misalnya, dalam kajian Arthur dan Harrison (2012), menginformasikan bahwa pendidikan karakter telah menjadi kebijakan strategis negara dalam rangka mewujudkan warga negara yang baik. Bahkan dalam skala besar Eropa, kajian Horst, Erdal, dan Jdid (2020) menunjukkan bahwa menjadi warga negara yang baik dengan menghormati ruang partisipasi publik dan privat adalah hal urgen bagi negara, sehingga dinamika yang berkembang perlu upaya rekonseptualisasi warga negara yang baik tersebut. Termasuk dalam pembelajaran di dalamnya, temuan Sunal, Christensen, Shwery, Lovorn, dan Sunal (2010) menggambarkan bahwa bagi lima negara; Brasil, Kolombia, Ekuador, Paraguay, dan Amerika Serikat, telah menjadikan konten-konten budaya digunakan dalam transformasi untuk mengembangkan siswa mengenal identitas mereka sebagai warga negara yang baik.

Lalu bagaimanakah dengan Indonesia? Dalam posisi tren isu ini sebenarnya Indonesia seharusnya lebih unggul. Betapa tidak, dari dahulu sampai sekarang, bangsa-bangsa dunia mengenal Indonesia adalah negara yang bhineka; muti kultur, etnis, bahasa, agama, dan lain-lain. Bahkan, walaupun mayoritas penduduk beragama Islam, sejarah telah mencatat bahwa kalangan muslim begitu sangat inklusif (terbuka) dan menerima perbedaan sebagai suatu keniscayaan. Muslim berperilaku demikian, bukan karena keterpaksaan, melainkan karena menyadari bahwa menghargai perbedaan adalah bagian dari ruh ajaran agama, bahkan sangat memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari sunatullah (Harahap, 2015).

Sekolah Penggerak dan Pengembangan Kurikulum PAI SMP adalah Sebuah Keniscayaan

Kebijakan sekolah penggerak secara eksplisit bertujuan untuk mengembangkan secara holistik kompetensi dan karakter pelajar Pancasila. Sehingga demikian, seluruh mata pelajaran yang diampu para guru, termasuk PAI harus mengarah pada pencapaian tujuan itu.

Muhaimin (2004) mengungkapkan PAI merupakan sebuah upaya yang berproses dalam menanamkan nilai-nilai ajaran Islam sebagai hasil interaksi edukaktif antara siswa dengan guru dalam suatu pembelajaran dengan tujuan akhir akhlakul karimah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Bab 1 Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa pendidikan agama dan keagamaan di sekolah menekankan pada beberapa aspek penting, yakni: memberikan pengetahuan, membentuk sikap dan kepribadian, memberikan sejumlah keterampilan sehingga para siswa mampu mengimplementasikan nilai-nilai agama yang dilandasi kekokohan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Kementerian Hukum, 2015). Tujuan PAI tersebut sejalan dengan kebijakan sekolah penggerak yakni mewujudkan kompetensi siswa yang holistik dan berkarakter Pancasila yang diimplementasikan dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu, bagian dari masyarakat dan bangsa.

Berkaitan dengan gambaran tersebut, maka pengembangan kurikulum PAI di SMP dalam kebijakan sekolah penggerak adalah sebuah keniscayaan. Setidaknya terdapat beberapa argumen mengapa hal tersebut penting. Pertama, bahwa definisi kurikulum mengarah kepada kerangka kerja yang menjadi acuan pembelajaran bagi guru dan stakeholders sekolah lainnya. Kedua, bahwa kurikulum merupakan sebuah sistem yang bergerak dinamis baik sisi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Ketiga, bahwa kurikulum disusun dan berposisi sebagai peta jalan pendidikan suatu bangsa ke depan. Berdasarkan argumen-argumen tersebut, maka acuan dasar pengembangan kurikulum PAI di SMP dalam kebijakan sekolah penggerak memiliki beberapa syarat, yakni: (1) dikembangkan secara logis dan sistematis (Didiyanto, 2017); (2) futuristik yang senantiasa adaptif dengan dinamika zaman (Bahri, 2017); (3) relevan dengan apa yang dibutuhkan siswa sesuai zaman dan perkembangan di dalamnya (Huda, 2017).

Dua bidikan utama kompetensi siswa dalam kebijakan sekolah penggerak, yakni literasi dan numerasi serta satu dimensi lainnya yakni karakter pelajar Pancasila adalah dasar bagi pengembangan kurikulum PAI. Dengan demikian, pengembangan kurikulum PAI SMP di sekolah penggerak harus memiliki paradigma integratif antara human-being dengan tecno-being (Dewi, 2019), maksudnya berkarakter baik dan berkemampuan literasi dan numerasi handal.

Syarat Mutlak Pengembangan Kurikulum PAI dalam Kebijakan Sekolah Penggerak

Keberhasilan pengembangan kurikulum PAI dalam kebijakan sekolah penggerak harus mempertimbangan lima hal esensial di dalamnya. Kelima hal itu merupakan syarat mutlak dan harus terlaksana dengan baik, sebagaimana disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Lima Intervensi Sekolah Penggerak yang Saling Berkaitan (Gambar diambil dari power point Program Sekolah Penggerak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2021)

Gambar 1. Menunjukkan lima syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam kebijakan sekolah penggerak, dan peluang mata pelajaran PAI berperan besar di dalamnya. Sebagaimana paparan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai kebijakan ini, maka kelima syarat mutlak diuraikan sebagai berikut: Pertama, pendampingan konsultatif dan asimetris maksudnya kemendikbud melalui unit pelaksana teknis di masing-masing provinsi memberikan pendampingan bagi pemerintah daerah kabupaten atau kota dalam merencanakan program sekolah penggerak dan secara khusus mata pelajaran PAI di dalamnya. Kedua, penguatan SDM sekolah maksudnya melakukan pelatihan-pelatihan secara sistematis, terprogram, dan terukur terhadap seluruh stakeholders sekolah yang terdiri atas kepala sekolah, pengawas sekolah, penilik, dan termasuk guru, dalam hal ini guru PAI wajib terlibat di dalamnya. Program-programnya dapat berbentuk in-house training, lokakarya, atau coaching. Ketiga, pembelajaran dengan paradigma baru menekankan bahwa pembelajaran PAI bersifat adaftif dan terbuka terhadap perkembangan-perkembangan yang menjadi realitas. Oleh karena setiap siswa memiliki potensi dan karakteristik belajar yang beragam, maka semestinya perlakukan pembelajaran mereka tidak persis sama dilakukan. Dalam kebijakan sekolah penggerak disebut dengan prinsip pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan siswa. Akan tetapi tetap, tujuannya mengacu pada penguasaan kompetensi literasi dan numerasi serta profil pelajar Pancasila. Keempat, perencanaan berbasis data maksuknya pengoptimalkan sekolah sebagai sebuah sistem, organisasi, dan manajemen. Maksudnya seluruh stakeholders sekolah menampilkan kinerja optimal sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diurai dalam job-desk masing-masing. Analisis situasional oleh guru PAI sangat penting dilakukan sebagai bahan menyusun program secara sistematis; maksudnya jelas perencanaan pembelajarannya, jelas programnya, terukur dan efektif pelaksannaannya, nyata output-nya, serta berdampak pada outcome dari profil muslim dan pelajar Pancasila sehingga memiliki benefit (keuntungan) dalam membangun peradaban bangsa berbasis kekokohan agama. Kelima, digitalisasi sekolah maksudnya sekolah secara berproses diterapkan untuk meningkatkan kinerja stakeholders sekolah dalam penelusuran informasi-informasi global kekinian. Literasi digital ini sangat penting sebagai upaya mendorong literasi data yang banyak dan terseleksi. Akan tetapi tetap saja, penguatan literasi humanitas melalui pembelajaran PAI tetap menjadi prioritas sebagai pembelakalan utama karakter para siswa sehingga mereka mampu menggunakan alat digital secara bertanggung jawab dan menelusuri konten-konten di dalamnya secara baik.

Koherensi Ruang Lingkup Materi PAI sebagai Pijakan Pengembangan Kurikulum

Secara khusus sebagai mata pelajaran, maka PAI di SMP selain adaptif terhadap dinamika juga harus tetap mengacu kepada lima inti ruang lingkup di dalamnya dan learning outcomes. Kelima ruang lingkup dan learning outcomes yang dimaksud sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1. Ruang Lingkup PAI dan Deskripsi Learning Outcomes di SMP

NO.RUANG LINGKUPDESKRIPSI
1Al-Quran HaditsPeserta didik memahami definisi Al-Qur`an dan Hadis Nabi dan posisinya sebagai sumber ajaran agama Islam. Peserta didik juga memahami pentingnya pelestarian alam dan lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam ajaran Islam. Peserta didik juga mampu menjelaskan pemahamannya tentang sikap moderat dalam beragama. Peserta didik juga memahami tingginya semangat keilmuan beberapa intelektual besar Islam.
2AkidahDalam aspek akidah, peserta didik mendalami enam rukun Iman.
3AkhlakDari segi akhlak, peserta didik mendalami peran aktivitas salat sebagai bentuk penjagaan atas diri sendiri dari keburukan. Peserta didik juga memahami pentingnya verifikasi (tabayun) informasi sehingga dia terhindar dari kebohongan dan berita palsu. Peserta didik juga memahami definisi toleransi dalam tradisi Islam berdasarkan ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi. Peserta didik juga mulai mengenal dimensi keindahan dan seni dalam Islam termasuk ekspresi-ekspresinya.
4FikihDalam ranah ibadah, peserta didik memahami internalisasi nilai-nilai dalam sujud dan ibadah salat, memahami konsep muʿāmalah, ribā, rukhshah, serta mengenal beberapa mazhab fikih, dan ketentuan mengenai ibadah qurban.
5SejarahDalam aspek sejarah, peserta didik mampu menghayati penerapan akhlak mulia dari kisah-kisah penting dari Bani Umayyah, Abbasiyyah, Turki Usmani, Syafawi dan Mughal sebagai pengantar untuk memahami alur sejarah masuknya Islam ke Indonesia

Tabel 1. menjelaskan bahwa PAI di SMP memiliki lima ruang lingkup, dimana masing-masingnya memiliki fokus yang menandakan koherensi (keterhubungan) antar sub-materi dan antar ruang lingkup. Alquran dan Hadits sebagaimana dijelaskan dalam tabel adalah sumber utama yang nilai-nilainya harus diinternalisasikan Guru PAI sehingga menjadi siswa memiliki pemahaman yang utuh dan inklusif (terbuka). Dasar-dasar dari pedoman ini diinternalisasikan oleh Guru PAI serta didukung informasi-informasi dari sejarah peradaban Islam, sehingga berdampak pada kokohnya akidah, taatnya ibadah, dan baiknya akhlak siswa yang diperlihatkan. Inilah yang dimaksud dengan koherensi antar materi dalam ruanglingkup ajaran agama Islam.

PAI, Visi Pendidikan Nasional, dan Tantangan Pembelajaran dengan Paradigma Baru

Kelima ruang lingkup PAI tersebut merupakan dasar pemicu bagi guru untuk mengembangkannya. Sementara acuan dasar dalam pengembangan tersebut mengarah pada dua hal, yakni visi pendidikan Indonesia (Gambar 2.) dan pembelajaran dengan paradigma baru (Gambar 3.)

Gambar 2. Visi Pendidikan Indonesia
Gambar 3. Pembelajaran dengan Paradigma Baru

Pelajar Pancasila merupakan fokus utama dari visi dan misi pendidikan Indonesia. profil ini mencakup enam karakter inti yakni: beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan berkahlak mulia, mandiri, bernalar kritis, berkebhinekaan global, bergotong royong, dan kreatif. Upaya-upaya tersebut dapat PAI wujudkan dengan menempuh dua program utama, intrakurikuler dan ko-kurikuler.

Sebagai salah satu mata pelajaran dengan fokus untama mengembangkan karakter religius siswa, maka PAI ditantang mampu mengimplementasikan pembelajaran dengan paradigma baru tersebut. Jika religius dipandang hanya berkaitan dengan keyakinan dan ketaatan beribadah saja, maka sesungguhnya persepsi tersebut cenderung sempit (Shihab, 2001). Karakter religius merupakan karakter dimana kekokohan keyakinan, ketaatan ibadah, dan diimplementasikan dalam dua bentuk kehidupan sosial. Bentuk pertama yakni hubungan interpersonal/baik terhadap sesama, toleran, dan saling menghormati (aspek karakter moral) dan bentuk kedua adalah menjadi penggerak peradaban (aspek karakter kinerja). Kedua bentuk tersebut adalah esensi dari PAI di sekolah dan menjadi koheren dengan visi pendidikan nasional dan kebijakan sekolah penggerak.

Kesimpulan

Persoalan karakter merupakan isu global yang kian hari mendapat perhatian serius dari seluruh pemimpin bangsa termasuk Indonesia. Kebijakan sekolah penggerak merupakan upaya merespon perilaku negatif bahkan kriminal di kalangan pelajar yang terjadi itu, jelas kontrakdiktif dengan tujuan pendidikan nasional dan bahkan tidak mencerminkan karakter Pancasila sejati. Dalam sisi itulah, PAI ditantang untuk adaptif dan sejalan dengan kebijakan sekolah penggerak yakni mewujudkan kompetensi siswa yang holistik dan berkarakter Pancasila yang diimplementasikan dalam kehidupan mereka, baik sebagai individu, bagian dari masyarakat dan bangsa. Artinya berkarakter religius dalam arti luas. Karakter religius merupakan karakter dimana kekokohan keyakinan, ketaatan ibadah, dan diimplementasikan dalam dua bentuk kehidupan sosial, baik dalam hubungan interpersonal (aspek karakter moral) maupun dalam penggerak peradaban (aspek karakter kinerja), ini sangat koheren dengan visi pendidikan nasional dan kebijakan sekolah penggerak.

Daftar Pustaka

Arthur, J., & Harrison, T. (2012). Exploring good character and citizenship in England. Asia Pacific Journal of Education, 32(4), 489-497. doi:10.1080/02188791.2012.741097

Bahri, S. (2017). Pengembangan Kurikulum Dasar dan Tujuannya. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 11(1), 15-34.

Boyer, W., & Crippen, C. L. (2014). Learning and teaching in the 21st century: An education plan for the new millennium developed in British Columbia, Canada. Childhood Education, 90(5), 343-353.

Ching Sing, C., Liang, J.-C., Tsai, C.-C., & Dong, Y. (2020). Surveying and modelling China high school students’ experience of and preferences for twenty-first-century learning and their academic and knowledge creation efficacy. Educational Studies, 46(6), 658-675.

Danandjaja, J. (2014). Metode Penelitian Kepustakaan. Antropologi Indonesia.

Daryanto, K. (2017). Pembelajaran abad 21. Yogyakarta: Gava Media.

Dewi, E. (2019). Potret Pendidikan di Era Globalisasi Teknosentrisme dan Proses Dehumanisasi. Sukma: Jurnal Pendidikan, 3(1), 93-116.

Didiyanto. (2017). Paradigma Pengembangan Kurikulum PAI di Lembaga Pendidikan. EDURELIGIA: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 1(2), 122-132.

Fajar, I. (2018). KPAI: Media Sosial Bisa Picu Tawuran Pelajar. Suara.com. Retrieved from https://www.suara.com/news/2018/09/13/064500/kpai-media-sosial-bisa-picu-tawuran-pelajar

Harahap, S. (2015). Islam dan Modernitas: Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakan Kesalehan Modern: Prenadamedia Group.

Horst, C., Erdal, M. B., & Jdid, N. (2020). The “good citizen”: asserting and contesting norms of participation and belonging in Oslo. Ethnic and Racial Studies, 43(16), 76-95. doi:10.1080/01419870.2019.1671599

Huda, N. (2017). Manajemen Pengembangan Kurikulum. Al-Tanzim: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 1(2), 52-75.

Kementerian Hukum, H. A. M. (2015). PP Nomor 55 Tahun 2007.

Maarif, A. S. (2015). Fikih kebhinekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan dan Kepemimpinan Non Muslim. In: Wawan Gunawan Abdul Wahid dkk (edit.), Bandung: Mizan.

Muhaimin. (2004). Paradigma pendidikan Islam upaya mengefektifkan pendidikan agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Pratama, I. P., & Zulhijra, Z. (2019). Reformasi Pendidikan Islam Di Indonesia. Jurnal PAI Raden Fatah, 1(2), 117-127.

Sari, M., & Asmendri, A. (2020). Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian Pendidikan IPA. Natural Science: Jurnal Penelitian Bidang IPA Dan Pendidikan IPA, 6(1), 41-53.

Sauri, S. (2010, 2010). Membangun bangsa berkarakter santun melalui pendidikan nilai di persekolahan. Paper presented at the The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI.

Shihab, Q. (2001). Pendidikan Agama, Etika dan Moral. Mimbar Pendidikan, 1, 19-23.

Suciatiningrum, D. (2019). KPAI: Angka kekerasan anak di media sosial terus naik. IDN Times. Retrieved from https://www.idntimes.com/news/indonesia/dini-suciatiningrum/kpai-angka-kekerasan-anak-di-media-sosial-terus-naik/5

Sumantri, E. (2011). Pendidikan karakter budaya dan karakter suatu keniscayaan bagi kesatuan dan persatuan bangsa. In D. Budimansyah & K. Komariah (Eds.), Pendidikan karakter: nilai bagi upaya pembinaan kepribadian bangsa (pp. 1-11). Bandung: Widaya Aksara Press.

Sunal, C. S., Christensen, L. M., Shwery, C. S., Lovorn, M., & Sunal, D. W. (2010). Teachers from Five Nations Share Perspectives on Culture and Citizenship. Action in Teacher Education, 32(2), 42-55. doi:10.1080/01626620.2010.10463549

Surani, D. (2019). Studi literatur: Peran teknolog pendidikan dalam pendidikan 4.0.