kandaga.id – Masker, thermo gun, wastafel, hand sanitizer, alat semprot disinfektan, dan kelengkapan protokol kesehatan lainnya sesuai arahan gugus tugas Covid-19, paling utama dalam mempersiapkan sekolah di Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Selain itu, di ruangan kelas pun harus disiapkan masing-masing satu meja satu kursi dengan jarak 1.5 hingga 2 meter, atau physical distancing.

Demikian disampaikan Kepala SDIT Al-Bayyinah, DR. Hanny Latifah, M.M.Pd., usai mengikuti Pembinaan Mutu Pendidikan (PMP) melalui Instrumen Pengukuran Data Standar Nasional Pendidikan (IP-SNP) tahun ajaran 2020-2021, Kamis (13/08/2020), sekolah yang pimpinannya sebagian besar kelas sudah berjarak.

“Untuk guru sendiri, Insyaallah kami mengikuti aturan, kalau memang sudah waktunya SD akan tatap muka, guru-guru kami siap melakukan test swab terlebih dahulu,” jelas DR. Hanny, mudah-mudahan sehat semua, sehingga bisa memberikan pembelajaran kepada peserta didik.

Selain itu kata DR. Hanny, pihaknya akan melakukan pengecekan suhu tubuh dengan thermo gun, mulai dari gerbang masuk sekolah, kemudian anak-anak harus cuci tangan, dan sekolah akan dilaksanakan secara shift.

“Sebelumnya kami disini full day school, biasaya dari pukul 07.15 hingga 15.00 WIB, tetapi sesuai aturan dan arahan, sekarang sekolah tidak boleh lebih dari 4 jam, kami pun akan menyesuaikan penyederhanaan kurikulum,” ucap DR. Hanny, saat ini masih menggunakan metode daring dan luring.

Untuk mendukung itu semua, kata DR. Hanny, guru-gurunya sudah mengikuti berbagai pelatihan peningkatan kompetensi terkait dengan penguasaan IT, dan content-content digital.

“Untuk peserta didik yang kesulitan belajar, kami juga melakukan home visit, dan juga boleh ke sekolah satu atau dua siswa tidak boleh lebih, dan hanya untuk konsultasi dengan guru,” jelasnya.

Diakui DR. Hanny, penggunaan gadget dapat merusak anak, sehingga untuk mengantisipasi hal itu salah satu cara yaitu dengan mengurangi yang penggunaannya seminggu sekali,

“Kedepannya kami menerapkan sistem bergiliran, sebelumnya seminggu ini misalnya daring, seminggu kemudian worksheet, sehingga tidak terlalu membuat orang tua mengeluh terkait kuota dan untuk mengurangi intensitas anak terus menggunakan gadget,” ujarnya.

DR. Hanny merasa bersyukur, sekolah yang dipimpinnya tidak ada permasalahan, selalu melakukan survey kepada orang tua, bagaimana keinginan orang tua, dan berupaya mengakomodir.

“Yang jadi kendala adalah anak, ketika kedua orangtuanya bekerja, tidak ada yang mendampingi anak belajar, sehingga kami membuat keputusan bahwa pembelajaran waktunya mungkin agak panjang,” ucapnya.

DR. Hanny mencontohkan, kami beri waktu di jadwalnya rengang pemberian materi pagi pukul 07.00 hingga 12.00, tapi untuk pengerjaan kalau misalkan ada tugas atau materi lainnya, itu orang tua bisa membatu pengerjaannya setelah pulang kerja di malam harinya, setelah itu disampaikan kepada guru.

“Kendala lainnya, anak yang tinggal bersama neneknya, nenenknya tidak bisa menggunakan gadget, kemudian juga pembuatan akun. Kalau pembuatan akun semisal ada orang tua terkendala, akhirnya guru yang datang ke rumah orang tua untuk membantu pembuatan akun,” ungkapnya.

Kata DR. Hanny, memang dalam kondisi seperti ini, harus menerapkan kurikulum terbatas. Artinya tidak terbatas waktu, tidak terbatas ruang, harus fleksibel. Orang tua butuh ini, seperti ini, dan kami berupaya memberikan solusi yang terbaik, tapi tetap pada koridor atau tetap pada aturan yang sudah ditetapkan.

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sebetulnya banyak dikeluhkan para guru selain pembuatan content digital yang membutuhkan waktu lebih banyak, guru harus kerja ekstra dari pagi hingga larut malam melayani pengumpulan tugas dari orang tua.

“Kami selalu berdiskusi, melakukan evaluasi, kendala minggu ini apa. Sehingga tiap minggu itu pasti dan selalu ada perubahan, menyesuaikan kebutuhan dan menyesuaikan keinginan orang tua. Supaya tidak memberatkan dan tidak membuat orang tua strees,” pungkasnya. (Jajang Sukmana)***