KANDAGA.ID – Sejumlah 50 sekolah dari 86 sekolah dasar (SD) di Koodinator Wilayah (Korwil) Bidang Pendidikan Kecamatan Garut Kota secara marathon akan diakreditasi 2019, yang sebelumnya telah disampaikan pada rapat. Senin (1/4/2019) baru lalu.

“Saya menyapaikan kepada para kepala sekolah yang akan diakreditasi bisa menolak, jika sekolah belum siap,” ujar Korwil Drs. H. Engkur, SH., M.Si., saat dihubungi melalui telphone cellurer, Kamis (4/4/2019).

Selain itu, tegas H. Engkur, kami telah menyampaikan penolakan kepada asesor, sekolah yang ada di wilayah kami untuk diakreditasi, karena banyak kepala sekolah yang akan pensiun dan ada beberapa sekolah yang akan di merger.

“Ada sekolah yang telah kami tolak untuk diakreditasi, namun ada kabar asesor malah melakukan akreditasi ke sekolah lain,” sesal H. Engkur.

Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ingin menghapus sistem pemeringkatan akreditasi sekolah, seperti dikutip PR, Kamis, 31 Januari 2019. Hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan kastanisasi antarsekolah yang menjadi inti dari semangat digulirkannya penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi. Kendati demikian, wacana menghapus pemeringkatan akreditasi ini perlu persetujuan dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-SM).

Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, ke depan, kualitas sekolah cukup diklasifikasikan dalam kelas terakreditasi dan tak akreditasi. Bukan seperti sekarang, kualitas sekolah dibagi ke dalam akreditasi A, B, C dan tak terakreditasi.

Menanggapi hal tersebut, Koordinator Pengawas (Korwas) Bidang Pendidikan Kecamatan Garut Kota, Memet Moch. Sobur, S.Pd., M.M.Pd., saat dihubungi melalui WhatsApp (WA) mengatakan, sangat setuju sekali dengan dihapuskan akreditasi khususnya di SD, karena kurang efektif tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, SD beda dengan SMP dan SMA.

“Rombel tidak komplit, mushola tidak semua ada, ruang perpustakaan, ruang UKS, WC anak, dan ruang Olahraga dan seterusnya, tidak semua SD ada,” jelas Memet.

Sementara Ketua Koordinator Kepala Sekolah (K2S), H. Ahmad, S.Pd.SD., mengatakan, akreditasi boleh dilaksanakan tapi jangan membebani pembiayaan, dana sekolah minim.

“Tupoksinya ada di pengawas, pemberitahuanya dari pengawas hasil rapat tanggal 1 April 2019, draft sekolah yang akan di akreditasi sudah ada,” jelasnya.

Berikut tanggapan dari beberapa kepala sekolah yang berhasil dihubungi melalui WhatsApp (WA):

Kepala SDN 3 Pakuwon, Rahmat, S.Pd., mengatakan, akreditasi harus sesuai dengan prosedur jangan terkesan seperti dipaksakan, tidak seperti biasanya. Sedangkan Kepala SDN 2 Ciwalen, Sri Baetul Sofiah, S.Pd.SD., dirinya belum mendalami, terserah pengawas saja.

Kepala SDN 2 Margawati, Hendarsih, S.Pd.SD., mengatakan, apabila akreditasi untuk membawa ke arah yang lebih peningkatkan kualitas sekolah dan kinerja, mengapa tidak. Menurutnya, sebagai kepala sekolah yang mempunyai keinginan untuk maju, baik dalam pendidikan dan karakter siswa juga kinerja kesejahteraan guru mengapa tidak. “Setiap ada program pasti ada mamfaatnya,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Kepala SDN 3 Sukanegla, Solihah Nurjanah, S.Pd., kalau demi kebaikan dan kemajuan pendidikan, kenapa tidak di akreditasi.

Kepala SDN 1 Kota Kulon, Yadi Supriadi, S.Pd., mengatakan, bagi kepala sekolah biaya. Menurutnya, kalau secara fisik bangunan bagus, ya harus akreditasi karena aturannya begitu. Tapi kalau bangunan tidak layak ya jangan.

“Bangunan memadai sarana komplit tidak bagus kalau menolak, sedangkan kalau yang dinilainya cuman administrasi sekolah ya boleh saja,” ujarnya.

Menurut Yadi, yang diatas harusnya melihat, karena akreditasi penilaiannya lengkap, akhirnya kepala sekolah “maksakeun” harus menyediakan segala macam. Padahal fisik bangunan kan pemerintah yang harus tanggung jawab.

“Ya kadang kan kalau tidak ada semacam ruang perpustakaan, karena jarang di SD yang punya ruang perpustakaan sendiri. Jadinya kan ruang kelas diaku perpustakaan di sekat, dipaksakan demi nilai akreditasi,” ujarnya.

Yadi mencontohkan, keberadaan WC di SD tidak sebanding dengan siswa sehingga kurang memadai.

“Satu WC idealnya untuk 20 siswa, sedangkan di SD paling banyak punya 2 WC. Bagaimana kalau muridnya 100 orang seharusnya ada 5 WC kan,” pungkasnya.

Kepala SDN 8 Kota Kulon, Iyus Rusmana, S.Pd., mengatakan, secara kedinasan akreditasi itu wajib di terima. Tapi kelayakan bangunan sekolah perlu dipertanyakan.

Iyus mencontohkan sekolah yang dipimpinnya, 3 ruang kelas rusak tidak bisa dipakai, imbas penilaian bukan hanya kepada dirinya sebagai kepala sekolah, tapi bakal beribas juga ke Dinas Pendidikan Kabupaten Garut. Karena ketika sekolahnya di akreditasi, sedangkan bangunan masih belum diperbaiki.

“Intinya antara menerima dan menolak, saya dilematis akreditasi teh, soalnya ruang kelas dan ruang kantor kondisi rusak,” keluhnya.

Kepala SDN 12 Regol, Sumiati, S.Pd., mengatakan, menolak untuk di akreditasi dulu karena itu perlu biaya dan harus dipersiapkan segala macam, intinya uang BOS nya sedikit, karena memiliki siswa hanya 50.

“Menolak disini bukan tidak setuju, saya setuju-setuju saja karena itu sudah program dari pemerintah,” ujarnya.

Kepala SDN 1 Muarasanding, Lina Lasmini, S.Pd.SD., mengatakan, akreditasi merupakan kegiatan evaluasi, pengendalian dan penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap komponen pendidikan pada setiap jenjang dan jenis pendidikan, sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan, contoh di SD.

“Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yg telah ditetapkan oleh BAN (Badan Akreditasi Nasional),” jelasnya.

Lina mengatakan, untuk SD ada 119 instrumen yang melekat pada 8 standar pendidikan dan itu sudah otomatis ada di Dapodik tercantum jadwalnya, segala perangkat penilaian diserahkan dari/dan ke LPMP.

“Kalau kegiatan akreditasi itu memakai banyak biaya untuk pelaksanaan, tapi tidak berdampak ke perubahan sekolah. Hanya hasilnya ada untuk syarat sekolah tersebut memiliki sertifikat, sehingga sekolah tersebut bisa terus berjalan dan dapat Dana BOS meskipun siswanya sedikit,” pungkasnya.

Hal senada dikatakan Kepala SDN 3 Sukamentri, Jajang Suryapraja, S.Pd., menerima akreditasi, karena pendidikan sebagai sentral dari segala pembangunan. Pendidikan merupakan penentu perkembangan pembangunan Negara.

“Akreditasi merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasar pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) dengan memperhatikan 8 Standar Pendidikan, yaitu Standar Isi, Standar Proses, Standar Kelulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar SarPras, Standar Biaya, Standar Pengelolaan, dan Standar Penilaian,” jelasnya.

Menurut Jajang, dilihat dari sisi pengertian akreditasi SD/Madrasah, akreditasi adalah proses penilaian secara konprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan program pendidikan yang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik, walaupun didalamnya terdapat ragam perbedaan, dengan mengacu pada 8 Standar Pendidikan diharapkan mendorong dan menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan pendidikan dan memberikan arahan untuk evaluasi diri berkelanjutan.

“Akreditasi merupakan alat regulasi (self Regulations) agar SD/Madrasah mengenal kelemahan dan kekuatan yang terus menerus secara signifikan,” jelasnya.

Menurutnya, dasar hukum akreditasi yaitu Undang-undang No.20 Tahun 2003 pasal 60. Peraturan Pemerintah. No 19 Tahun 2005 pasal 86 & 87. Surat Keputusan Mendiknas No. 87.U/2002.

“Saya menolak akreditasi, karena usaha dan kerja keras satuan pendidikan tidak berkelanjutan dan terdapat benturan yang tidak meninggalkan bekas yang berarti,” pungkasnya.

Kepala SDN 4 Pakuwon, Wida Wardhani, S.Pd., M.Pd., mengatakan, menerima tapi dahulukan sekolah yang sudah lama belum di akreditasi. Karena kasihan kan akreditasi salah satu bentuk pameriksaan atau penilaian sekolah itu sendiri dan sebagai bahan evaluasi demi kemajuan sekolah tersebut.

“Jangan sampai yang sudah di akreditasi di akreditasi lagi, sedang yang belum tidak diakreditasi,” punkasnya.

Sementara itu, Kepala SDN 10 Regol, Ema Nurjamilah, S.Pd.SD., M.M., mengatakan, akreditasi lebih cocok untuk sekolah swasta, karena untuk sekolah negeri kurang manfaatnya.

“Contoh sekolah yang saya pimpin dilihat dari Sapras sangat jauh sekali dari standar akreditasi. Kami hanya memiliki 4 ruang kelas, bahkan setelah di akreditasi pun tetap tidak bertambah, malahan terikat oleh aturan cagar budaya.

“Tapi, kalau akreditasi sudah program pemerintah yang sifatnya wajib dilaksanakan, ya saya tidak bisa menolak,” pungkasnya. (Jajang Sukmana)***