KANDAGA.ID – Mungkin akan beranggapan pemikiran jadul, jika Sekolah Pendidikan Guru (SPG) harus kembali berada di tengah-tengah globalisasi sekarang ini. Karena sekarang sudah banyak perguruan tinggi mempersiapkan calon tenaga profesi sebagai pendidik atau guru.

Meski dianggap jadul, calon guru yang pernah mendapat pendidikan di SPG jauh lebih baik menghasilkan kualitas generasi penerus banga ini. Demikian dikatakan, alumni SPGN Tasikmalaya tahun 1979, Mulyana, S.Pd., (Kepala SDN 5 Paminggir), dan Tete Ahnad S, S.Pd., lulusan SPGN Garut tahun1982 yang kini menjadi guru SDN 5 Paminggir di Jl. Cimanuk No. 231, Kelurahan Paminggir, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Rabu (10/7/2019).

Mulyana, S.Pd.

Pa Aa sapaan akrab Mulyana, merasa khawatir terhadap sekolah yang mengalami kemunduran kualitas lulusan sekolah khususnya negeri yang tenaga pendidik atau gurunya bukan keluaran SPG.

Baik Pa Aa maupun Tete, beraggapan kemuduran kualitas pendidikan di sekolah negeri salah satunya dengan dihapusnya SPG yang sudah jelas sebagai lembaga pendidikan pencetak untuk guru.

“Dari awal, bagi yang bercita-cita ingin menjadi guru dimulai dari pendidikan dasar di SPG bukan SMA atau Sederajat, yang kemudian melanjutkan sarjana pendidikan. Dan akan sangat bagus jika dari SPG melanjutkan S1 pendidikan atau lebih tinggi, itu lebih berkualitas lagi,” ujar mereka.

Sehingga menurut Aa dan Tete, apa yang harapkan pemerintah untuk mencetak generasi yang berkualitas dan beretika, dispilin, tanggung jawab, dan hal positif lainnya akan sangat bagus.

“Kalau dibandingkan antara SPG dengan S1 yang sekarang, jauh lebih baik keluaran SPG. Sebab belajar di SPG itu sudah dipersiapkan sedini mungkin untuk mencetak generasi bangsa yang berkualitas, dengan pendidikan dan dispilin yang begitu ketat,” jelasnya.

Tete Ahnad S, S.Pd.

Tete mengatakan, pendidikan di SPG itu, kita akan mendapatkan didikan mulai dari cara berjalan, mengajar, etika, sopan santun dan lain sebagainya. Selain itu, guru tidak boleh menyuruh anak didik untuk mengerjakan tugas seperti menulis di papan tulis. Apalagi menyuruh lainnya, itu tidak boleh.

“Tugas guru itu mengajar dan peserta didik menerima ilmu. Meskipun sekarang menggunakan Kurikulum 2013 ada untuk belajar bersama teman tapi itu hanya sementara dan terbatas, guru tetap yang bertanggung jawab, harus mengawasinya dan mempertanyakan kepada peserta didik apa yang disampaikan oleh temannya tersebut.

“Sekarang akibat hilangnya SPG banyak bermunculan kriminal terharap guru, sedangkan pendidikan di SPG tidak seperti itu, karena awal pembentukan guru yang sangat bagus,” terang Tete.

Tete mengakui, dirinya bercita-cita sejak SD dan SMP ingin menjadi guru, makanya melanjutkan pendidikan ke SPG. Karena tuntutan harus sarjana, Tete kuliah selama 5 tahun untuk meraih S1 pendidik. Kalau dibandingkan cara mendidik antara hasil kuliah dengan pendidikan di SPG, menurut Tete yang paling banyak dari SPG sekitar 70%, yang didapat selama kuliah kebanyakan teori manajemen pendidikan, bukan pembentukan karakteritik sebagai pendidik.

“Coba bandingkan sekarang, keluaran SPG dengan guru keluaran SMA atau Sederajat yang mendapatkan sarjana S1 pendidikan. Mulai dari cara berjalan, cara berbicara, cara menulis, cara mengajar, dan cara-cara lainnya, bagaimana hasilnya?,” tanya Tete.

Untuk itu Tete sangat berharap kepada pemerintah agar SPG kembali ada, supaya tenaga pendidikan betul-betul dipersiapkan sedini mungkin, jangan asal ujug-ujug. Akibatnya ya seperti ini, anak tidak sopan tidak beretika, karakter kurang bagus dan lain sebagainya, dan itu semua kembali kepada guru yang mendidiknya.

Selain itu, menurut Pa Aa, guru professional itu adalah guru yang betul-betul jadi perhatian peserta didiknya dan tak pernah melupakan sampai kapan pun, sekarang guru seperti itu jarang sekali.

“Coba kalau kita bertemu dengan peserta didik yang sudah menjadi pejabat, mereka tidak akan pernah melupakan terhadap gurunya. Kalau mereka menyapa dan masih menggap kita guru, itu sebagai bukti bahwa guru tersebut betul-betul guru professional, tapi kalau sebaliknya, terserah anda yang menilai,” ujar Pa Aa.

Menurut mereka, guru itu dianggap seperti selebriti oleh peserta didik termasuk orang tuanya sehingga menjadi perhatian mereka, mulai dari cara berbicara, berpakaian, berjalan, berprilaku, kepedulian dan hal potif lainnya.

“Apa yang kita kerjakan dan apa yang kita tugaskan, mereka akan mengikutinya, dan itu kami peroleh dari pendidikan di SPG tentang tata cara memperhatikan peserta didik, karena selama SPG hampir tiap hari mendapat pendidikan psikologi,” pungkasnya.

“Menyingkap Perkembangan Pendidikan Sejak Masa Kolonial Hingga Sekarang: Perspektif Pendidikan Kritis” (sejarah.upi.edu)/net.

Hal yang sama juga sudah banyak di media sosial tulisan terkait keberadaan SPG. Salah satu contoh yang dilansir http://www.yaspgnselong.asia/2018 yang berjudul “Sejarah Sekolah Guru (SPG)”, sebagai lembaga pencetak guru paling mumpuni dan terukur di SPG mereka digembleng dengan teori-teori pendidikan seperti : psikologi pendidikan, ilmu mendidik, didaktik methodik, psikologi anak dan ilimu-ilmu lain yang terkait langsung dengan dunia pendidikan dan pengajaran. Selain itu, mereka juga digembleng sedemikian rupa dari segi sikap, kepribadian, kedisiplinan, bahkan dari segi penampilan juga sangat diperhatikan. Sehingga tamatan SPG tidak kalah kualitasnya dengan tamatan S1 keguruan sekarang.

Sementara penulis Gunarto TS dalam tulisan berjudul “Dulu SPG PGA SGO Dihapur Kini Sekolah Kekurangan Guru” yang dilansir di http://poskotanews.com/2018/ menulis, meski guru sudah S1, di berbagai daerah kekurangan guru, sementara guru wiyata bakti (honorer) tak semuanya bisa jadi guru PNS. Padahal meski guru sudah sarjana tak ada jaminan mutu pendidikan lebih baik.

Diakui atau tidak, guru SR dan SD yang dulu hanya lulusan SGB (Sekolah Guru B), SGA (Sekolah Guru Atas), mutunya lebih baik ketimbang guru SD sekarang yang sudah S1. Guru jaman dulu masih kaya akan idealisme, guru sekarang kebanyakan hanya mengejar tunjangan sertifikasi.

Guru SD dulu menguasai semua mapel (mata pelajaran). Guru SD sekarang, dalam pelajaran seni suara tak semuanya bisa baca not angka, apalagi not balok. Guru dulu masih mau tiap malam kontrol muridnya belajar atau tidak. Guru sekarang?.

Lihat mutu kebanyakan pelajar sekarang. Mata angin saja tidak ngerti mana timur, barat, dan mana barat daya dan barat laut. Tahunya cuma kanan dan kiri. Menulis latin sudah tak bisa. Apa lagi soal ejaaan, parah. Masak adik ditulis adek. Paklik dan Bulik ditulis Paklek dan Bulek.

Dulu pemerintah menghapus SPG, PGA dan SGO dengan maksud untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tapi setelah guru harus sarjana, di setiap sekolah guru negerinya hanya 2-3 orang, lainnya kebanyakan guru wiyata bakti yang mau digaji Rp 300.000,- sebulan. Mereka bukan lulusan sekolah guru yang belajar Ilmu Didaktik & Metodik, tapi hanya lulusan SMA atau S1 tapi bukan pendidikan.

Bom waktu kekurangan guru mulai terjadi sejak beberapa tahun lalu. Murid semakin banyak, guru kekurangan lantaran kebijakan moratorium pengangkatan guru. Padahal yang pensiun setiap tahun puluhan ribu di seluruh RI. Ketika guru honorer di-PNS kan, tak semuanya bisa diangkat karena tak memenuhi syarat (K-2).

Di Jakarta misalnya, sejak tahun 2017 sudah kelabakan kekurangan tenaga guru. Tenaga guru tinggal 32.000 karena banyak yang pensiun. Tahun 2018 ini, setidaknya akan pensiun lagi 2.160-an guru. Untuk mengisi kekosongan, DKI masih membutuhkan 14.000 guru baru.

Coba, andaikan Menteri PDK dulu tak terlalu muluk-muluk bikin program. Tak seenaknya menghapus SPG, SGO dan PGA, niscaya takkan terjadi “bom waktu” kekurangan guru di mana-mana. (Jajang Sukmana/berbagai sumber)***