Oleh : Nurdin, ST., M.Pd.

SEBELUMNYA kita mengenal istilah coaching selalu terdengar atau didengung-dengungkan dalam dunia olahraga khususnya sepak bola,  para pengamat dan pakar sepak bola mengartikan coaching adalah sebagai bentuk pembinaan atau pelatihan bagi para pemain dari seorang pelatihnya (coach). Namun saat ini istilah coaching juga sering digunakan penerapannya dalam dunia pendidikan, coaching dalam pendidikan adalah sebuah teknik komunikasi pembelajaran antara guru dan murid, murid diberikan kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya melalui tuntunan seorang guru agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan tanpa membahayakan dirinya. Keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan peserta didiknya.

Coaching juga dapat dipakai dalam kegiatan supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap gurunya. Kepala sekolah harus merubah paradigma supervisi akademik yang sebelumnya adalah hanya sebatas menilai bagaimana guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, namun tidak hanya itu seorang kepala sekolah juga harus memiliki keterampilan coaching dalam melaksanakan kegiatan supervisi akademik dengan tujuan menggali potensi gurunya agar lebih berkembang lagi dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Kepala sekolah dalam hal tersebut bertindak sebagai coach harus memiliki paradigma berfikir dalam melakukan coaching terhadap gurunya, dalam hal ini guru tersebut berperan sebagai coachee-nya. Paradigma berfikir yang dimaksud adalah bagaimana kepala sekolah (coach) selalu fokus pada guru (coachee) yang akan dikembangkan, bersikap terbuka dan selalu ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang kuat, serta mampu melihat peluang baru dan masa depan.

Dalam melaksanakan coaching, seorang kepala sekolah juga harus memahami prinsip coaching. Terdapat 3 prinsip coaching yang digunakan dalam proses interaksi dengan gurunya. Yang pertama adalah membangun kemitraan, yaitu diwujudkan dengan cara membangun kesetaraan dengan guru yang akan dikembangkan. Kedua adalah proses kreatif, dilakukan melalui percakapan yang berlangsung dua arah, memicu proses berfikir coachee, serta memetakan dan menggali situasi coachee untuk menghasilan ide-ide baru. Dan yang ketiga adalah memaksimalkan potensi, dimana dalam akhir percakapan perlu diakhiri dengan suatu rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh guru (coachee) yang akan dikembangkan, yang paling mungkin dilakukan dan paling besar peluang keberhasilannya.

Setelah memahami paradigma berfikir dan prinsip coaching, seorang kepala sekolah juga harus memiliki kompetensi inti dalam pelaksanaan coaching. Terdapat 3 kompetensi inti yang harus dikuasai oleh kepala sekolah diantaranya kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Seorang coach dalam hal ini adalah kepala sekolah harus hadir secara utuh sehingga badan, pikiran, dan hati selaras saat sedang melakukan coaching terhadap gurunya. Seorang coach juga harus mampu mendengarkan serta menyimak dengan aktif dan dengan rasa apa yang dibicarakan oleh coachee-nya, seorang coach harus cenderung lebih banyak mendengarkan dan lebih sedikit berbicara. Selain itu seorang coach juga harus mengajukan pertanyaan yang berbobot dengan dasar pernyataan-pernyataan si coachee. Pertanyaan berbobot diharapkan dapat menstimulus pemikiran coachee serta memunculkan pemikiran-pemikiran yang belum terpikirkan sebelumnya.

Dalam melaksanakan coaching, percakapan atau komunikasi yang dilakukan harus sesuai dengan alur TIRTA. Dalam bahasa sangsekerta TIRTA artinya mengalir, alur TIRTA dijadikan sebagai acuan atau panduan interaksi antara kepala sekolah (coach) dengan gurunya (coachee) dalam melaksanakan coaching supervisi akademik dimana proses interaksi yang dijalankan mengalir apa adanya seperti halnya air . Pada saat berjalannya coaching, tahapan pertama yang dilakukan coach adalah mengetahui serta menetapkan tujuan yang hendak dicapai oleh coachee (T : Tujuan), kemudian selanjutnya adalah menggali serta mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada coachee (I : Identifikasi). Setelah identifikasi dilakukan maka coachee dengan bantuan coach mampu menetapkan rencana aksi dari hasil pemikiran selama coaching berlangsung (R : Rencana Aksi). Dan tahapan terakhir dari alur TIRTA adalah bentuk komitmen atau tanggung jawab seorang coachee dalam menjalankan rencana aksi tersebut (TA).

Kegiatan supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan peran sebagai supervisor dan sebagai coach, dalam hal tersebut harus mampu melakukan perencanaan terlebih dahulu sebelum kegiatan supervisi dimulai, yaitu dengan melakukan percakapan pra observasi dengan menyampaikan tujuan serta konfirmasi kesiapan guru. Selanjutnya setelah ada kesepakatan antara kepala sekolah dan guru maka dilakukan observasi yaitu mengamati aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru bersama muridnya di kelas. Dan langkah terakhir adalah melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah berlangsung yang disebut dengan pasca observasi. Dalam pasca observasi kepala sekolah memberikan ruang serta kebebasan pada guru untuk berefleksi berdasarkan hasil analisis atau pengamatan yang sudah dilakukan melalui observasi. Guru dengan dituntun oleh kepala sekolah melalui pertanyaan berbobot akan mampu menemukan area pengembangan dan perbaikan dirinya terutama dalam hal pelaksanaan proses belajar mengajar, guru akan merasakan kelebihan serta kekurangan dirinya dari hasil supervisi yang memberdayakan serta berkelanjutan. Dan melalui tindak lanjut supervisi guru dapat memperbaiki kelemahan atau kekurangan pada dirinya. (*)