TARKID, (kandaga.id).- Setelah sukses Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) jenjang SD, kini Dinas Pendidikan Kabupaten Garut menyeleksi sejumlah 224 siswa perwakilan dari 8 Rayon se-Kabupaten Garut, untuk memilih satu siswa putra putri terbaiknya yang akan mewakili di tingkat Provinsi Jawa Barat dengan rencana dilaksanakan di Pangandaran

Dibuka Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, H. Mohamad Yusup Sapari, S.Pd., M.M.Pd., FTBI jenjang SMP ini yang dilaksanakan di SMPN 2 Tarogong Kidul, Jl. Flamboyan, Jayaraga, Kecamatan Tarogong Kidul, Sabtu (29/10/2022).

FTBI jenjang SMP pun sama seperti jenjang SD dengan tujuh mata lomba yaitu Sajak Sunda, Aksara Sunda, Pupuh, Carpon, Biantara, Dongeng dan Borangan.

Yusup Sapari mengungkapkan, digelarnya FTBI oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat atas gagasan Gubernur, Ridwan Kamil, dikarenakan akhir-akhir ini bahasa Sunda di keluarganya orang Sunda mengalami perubahan.

“Kandang-kandang orang tuanya tidak mengajarkan bahasa Sunda, tapi bahasa Nasional bahasa Indonesia dengan berbagai alasan. Padahal itu hal yang salah, sebab, walaupun bagaimana bahasa ibu bahasa Sunda itu harus di “mumule”,” ujarnya.

Selain itu, Yusup Sapari berpesan kepada panitia mempersiapkan juara satu hingga juara tiga tingkat kabupaten dibina untuk perwakilan di tingkat provinsi. Hal ini, kata Yusup Sapari, dalam mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, sehat atau sakit. Dan yang diberangkatkan nanti ke tingkat provinsi harus benar-benar sehat,” ucapnya.

Ia juga berpesan kepada seluruh peserta FTBI tingkat kabupaten ini agar berlomba secara sportif, dengan baik.

“Tampilkan kemampuan semaksimal mungkin, hingga nanti terpilih untuk mewakili kabupaten di tingkat Provinsi Jawa Barat, dan semoga banyak meraih juara,” pungkas Yusup Sapari.

Ketua MKKS SMP Kabupaten Garut, R. Yusup Satria Gautama, M.Pd., mengucapkan terima kasih kepada Dinas Pendidikan Garut yang telah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada MKKS dalam pelaksanaan FTBI tingkat kabupaten termasuk tingkat provinsi.

“Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kelancaran, dan In Syaa Allah kami dapat memboyong banyak juara,” ujarnya.

Ia menjelaskan, untuk menjaga netralitas dan menjamin hasilnya yang benar-benar berkualitas, pihaknya menghadirkan juri-juri dari luar jenjang SMP, bahkan mengundang juri yang punya pengalaman di bidangnya masing-masing seperti Ani Sukmawati, SE., Sony Riza, S.Sn., dan GJ. Setra, S.Pd., dari Bandung.

Terpisah, juri Pupuh, Ani Sukmawati mengatakan, dari dulu Garut itu banyak memiliki potensi khususnya di bidang Pupuh, termasuk anak-anak sekarang sudah mengenal dengan baik jenis-jenis dan inti Pupuh, bahkan terang Ani, ada anak di usianya ini membikin kami tercengang kemampuannya, dan mungkin semua itu tak lepas dari peran gurunya.

“Dengan banyak anak-anak yang memiliki potensi luar biasa ini, sudah barang tentu kami memerlukan ekstra kehati-hatian dalam memberikan penilaian, meskipun kami sudah biasa dan banyak pengalaman,” ujar Ani.

Ia pun merasa berkeyakinan perwakilan dari Kabupaten Garut punya peluang cukup besar untuk meraih juara di tingkat provinsi.

Selain itu, ia menilai dengan adanya FTBI ini, tidak akan terjadi pergeseran seni budaya Sunda, namun kata Ani, itupun tergantung dari pada anak-anak itu sendiri.

Sementara itu tersiar dibeberapa kalangan bahwa mata lomba Biantara dianggap paling sulit, Sony menanggapinya, itu mungkin diakibatkan tidak terlalu mengenal dengan bahasa Sunda yang dilombakan. Padahal, terang Sony, kalau anak-anak itu sudah mengenalnya pasti lancar, termasuk dalam Pupuh, rasa bahasa sangat dibutuhkan, dan itupun tergantung khas dari daerahnya masing-masing.

Selain itu, ada anak yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Indonesia, tapi dia mampu meraih juara di FTBI, kata Sony, itu kemungkinan gurunya yang bagus, dan tidak menutup kemungkinan juga anak itu pernah punya pengalaman.

“Saya pernah punya pengalaman seperti itu, ketika saya jadi juri perlombaan tingkat SMA/SMK, yang menang itu SMKN 2 Cibinong Bogor, nyaris ke-20 siswa itu tidak ada seorangpun orang Sunda, sampai-sampai ketika diumumkan jadi juara, biasa-biasa saja, baru ketika oleh gurunya diberitahukan bahwa kalian itu juara, barulah bersorak,” ungkap Sony, dan ketika mereka “ngawih”, lanjut Sony, persis orang Sunda sekali, padahal mereka itu orang Batak, orang Minang, orang Jawa.

Untuk itulah, baik Ani maupun Sony mengharapkan pelajaran mulok Bahasa Sunda di setiap sekolah agar terus digelorakan. ***Jajang Sukmana