Dr. Ajang Rusmana, M.Pd., Kasi Kurikulum Bidang SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Garut saat mereplikasi sekaligus menutup kegiatan pada pada Rabu (6/12/2023).

KANDAGA.ID – Kurikukulum Pendidikan di Indonesia telah terjadi 11 kali perubahan, mulia dari Rentjana Pelajaran 1947 (Kurikulum 1947), Rentjana Pelajaran Terurai 1952 (Kurikulum 1952, Rentjana Pendidikan 1964 (Kurikulum 1964), Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013 (K-13), dan Kurikulum Merdeka.

Prinsip perubahan kurikulum dimaksudkan agar kurikulum sesuai dengan perkembangan zaman, yang akan berdampak pada peningkat kualitas pembelajaran serta mengakomodasi kebutuhan sumber daya manusia dalam menyongsong perubahan global.

Adapun faktor yang mempengaruhinya yaitu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan dunia kerja, tuntutan global dan standar internasional, konsultasi dan partisipasi stakeholder, evaluasi dan penelitian pendidikan.

Hakekatnya kurikulum itu berubah adalah terjadinya perubahan pada guru dan kepala sekolah. Jadi, kurikulum itu bukan sekadar dokumen dan buku teks, melainkan guru dan kepala sekolah sebagai kurikulumnya.

Hal itu diungkapkan Dr. Ajang Rusmana, M.Pd., Kasi Kurikulum Bidang SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Garut pada penguatan pemahaman penerapan kurikulum merdeka bagi sekolah Non IKM jenjang SMP yang berlangsung di Ruang Paripurna PGRI Kabupaten Garut, Jl. Pasundan No. 41, Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Garut Kota, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat pada Rabu (6/12/2023).

Jadi mulai sekarang, pinta Dr. Ajang, tolong dimaknai dan disikapi bahwa kurikulum itu adalah guru dan kepala sekolah, insyaa Allah perubahan itu akan terjadi. Sebab, kurikulum itu adalah bagaimana merubah paradigma dan mindset guru dan kepala sekolah.

Menurutnya, perubahan itu tidak mungkin terjadi dengan hasilnya secara instan, pasti butuh waktu makanya pemerintah memberikan tiga opsi dalam kurikulum merdeka yaitu mandiri belajar,  mandiri berubah, dan mandiri berbagi.

Mandiri belajar artinya guru dan kepala sekolah terus belajar hingga paham, setelah itu dilanjutkan ke mandiri berubah hingga terjadi perubahan pada siswa serta guru-gurunya, dan setelah berhasil dilanjutkan ke mandiri berbagi dengan sekolah lain.

“Kurikulum tanpa dibarengi dengan perubahan atau pola pikir guru cara bersikap, niscaya kurikulum itu berhasil. Sebab kurikulum adalah guru itu sendiri, dan buku teks sebagai penunjang,” ujarnya.

Terkait dengan masalah mutu atau kualitas, yang diyakini semua satuan pendidikan bercita-cita ingin meningkatkan kualitas. Dr. Ajang menilai untuk mutu ada dua indikator yaitu sekolah harus punya standarisasi pendidikan, dan sekolah harus dapat memuaskan atau memenuhi harapan orang tua wali murid, bisa dirasakan.

Selain itu, Dr. Ajang menyoroti terkait dengan asesmen yang sudah diberikan oleh Kementerian atau pemerintah, bahwa yang berwenang memberikan asesmen pada siswa adalah guru. Sebab guru yang mengajar, guru yang membimbing, dan guru pula yang memiliki kewenangan untuk menilai.

Penguatan pemahaman penerapan kurikulum merdeka bagi sekolah Non IKM ini diikuti 128 SMP yang belum menerima SK Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek dari 422 yang tercatat dengan rincian 41 sekolah penggerak, 128 belum menerima SK, dan 253 IKM plus SK Kemendikbudristek (Mandiri Belajar 182, Mandiri Berubah 70, dan Mandiri Berubah 1). Meski demikian hampir semua SMP di Kabupaten Garut melaksanakan kurikulum merdeka. Dan kegiatan ini untuk memastikan di tahun 2024 semua melaksanakan kurikulum merdeka secara nasional. ***Jajang Sukmana