“Lekas membaik, Bumi,” ungkap seorang mahasiswa yang tengah berjuang menyelesaikan studi di salah satu perguruan tinggi Kabupaten Garut. Rupanya, pernyataan itu mampu merepresentasikan harapan semua insan di muka bumi ini, termasuk para mahasiswa yang kini sedang menghadapi perkuliahan secara dalam jaringan (daring).

Adanya pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) membuat pemerintah mengambil keputusan untuk ”merumahkan” kegiatan perkuliahan. Alhasil, sistem perkuliahan tatap muka telah beralih menuju daring. Beberapa aplikasi digunakan untuk menjalankan roda edukasi, dimulai dari Zoom, G-Classroom, G-Mail, Quizizz, Kahoot, dan sebagainya.

Nahas, hal tersebut memicu kontradiksi di kalangan mahasiswa. Diketahui, sistem perkuliahan semacam itu memantik kendala baru yang cukup pelik. Berdasarkan hasil survei Kandaga pada tanggal 24 Juni 2020, mayoritas mahasiswa menemukan problematik sebagai berikut.

Gambar 1. Persentase Kendala Perkuliahan Daring

            Mengacu pada diagram yang disajikan dalam gambar 1, kendala utama perkuliahan daring ialah kuota internet dan sinyal. Dua komponen tersebut banyak dikeluhkan oleh mayoritas responden, terlebih bagi mereka yang kesulitan mengakses internet. Seorang mahasiswa memaparkan, “… tidak semua mahasiswa memiliki kuota internet yang memadai untuk perkuliahan, sehingga ada yang terpaksa outclass/ get out of class di tengah pembelajaran karena kuota yang limit”. Sementara itu, responden lain menuturkan, “Saya berada di pemukiman yang sulit menjangkau akses internet. Hal ini membuat saya harus berusaha keras untuk tetap mengikuti perkuliahan online.”

Kendala selanjutnya yang dihadapi mahasiswa ialah fasilitas. Seperti yang kita tahu, perkuliahan daring tentu memerlukan fasilitas seperti gadget dan laptop yang memadai. Sayangnya, tidak semua mahasiswa memiliki sarana penunjang tersebut. Beberapa responden bahkan mengeluhkan laptop yang eror dan gadget yang tidak support dengan aplikasi yang digunakan. Tentu saja hal itu menjadi penghambat terlaksananya proses perkuliahan.

Kendala lainnya menempati angka persentase 10%. Komponen yang termasuk dalam kategori ini mencakup: aplikasi, kapabilitas, dan efektivitas. Beberapa responden mengemukakan bahwa aplikasi yang digunakan kerap terkesan rumit, sehingga tidak semua mahasiswa memiliki kapabilitas untuk menggunakannya. Selain itu, perkuliahan daring dinilai kurang efektif bagi segelintir mahasiswa. Hal ini dikemukakan oleh seorang responden, “Saya kesulitan untuk mencerna materi perkuliahan yang disampaikan, apalagi jika ada perkuliahan praktikum,” tulisnya di kolom survei.

Problematik Mahasiswa Tingkat Akhir

Tidak hanya berlaku untuk mahasiswa yang masih aktif berkuliah, namun mahasiswa tingkat akhirpun mengalami problematik serupa. Mayoritas responden yang sedang menyelesaikan skripsi mengeluhkan hal yang sama: bimbingan secara daring. Melalui sistem bimbingan jarak jauh, tentu menjadi kendala tersendiri bagi mahasiswa tingkat akhir. Pasalnya, komunikasi menjadi kian terbatas dan acap kali pesan yang disampaikan pembimbing kurang dicerna dengan baik. “…saya kurang paham saat bimbingan secara online. Saya merasa lebih efektif jika bimbingan langsung tatap muka,” imbuh salah satu responden yang sedang menyelesaikan tugas akhirnya.

Masalah lainnya, penelitian yang melibatkan banyak orang secara langsung, kini terpaksa harus berpindah haluan. Hal ini membuat segelintir mahasiswa harus berpikir keras agar penelitiannya tidak tersendat. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang diharuskan mengganti judul, padahal sebagian bab hampir rampung.

Kebijakan Perguruan Tinggi

Menghadapi polemik di tengah pandemi ini, beberapa perguruan tinggi membuat kebijakan dengan berbagai pertimbangan. Terlepas dari kebijakan yang bervariasi di setiap kampus, namun ada satu hal yang menjadi pusat perhatian, yakni keuangan. Beberapa mahasiswa (yang berasal dari kampus yang sama) mengemukakan bahwa mereka menerima pemotongan biaya perkuliahan, dan dialokasikan untuk biaya kuota internet. Namun, nominal yang dipangkas dinilai kurang sepadan dengan pengeluaran mahasiswa selama perkuliahan daring. Sementara itu, salah seorang mahasiswa dari kampus lain mengutarakan bahwa, “Rencana kampus yang akan memberikan bantuan kepada mahasiswa berupa kuota, sampai saat ini belum terealisasi. Selain itu, pemotongan biaya perkuliahan untuk semester depan hanya 10%”.

Kebijakan Kemendikbud

Baru-baru ini, Kemendikbud meluncurkan tiga kebijakan yang mendukung mahasiswa dan sekolah yang terdampak Covid-19. Dilansir dari laman kemendikbud.go.id, Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim menjelaskan kebijakan pertama dan kedua terkait dukungan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Dana Bantuan UKT mahasiswa. Sementara itu, kebijakan ketiga menyangkut Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Afirmasi dan BOS Kinerja.[1]

Mengenai UKT, Kemendikbud mengatur mekanismenya melalui Permendikbud No. 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Terdapat empat arahan baru yang diatur dalam permendikbud, yaitu:

  1. UKT dapat disesuaikan untuk mahasiswa yang keluarganya mengalami kendala finansial akibat pandemi Covid-19;
  2. mahasiswa tidak wajib membayar UKT jika sedang cuti kuliah atau tidak mengambil SKS;
  3. pemimpin perguruan tinggi dapat memberikan keringanan UKT dan/atau memberlakukan UKT baru terhadap mahasiswa;
  4. mahasiswa di masa akhir kuliah membayar paling tinggi 50% UKT jika mengambil ≤ 6 SKS.

Menurut Mendikbud, melalui kebijakan ini diharapkan mahasiswa mendapat manfaat seperti yang tertera dalam gambar 2.

Gambar 2. Manfaat Kebijaan UKT untuk Mahasiswa

            Penambahan jumlah penerima bantuan akan diberikan sebanyak 410.000 mahasiswa (terutama Perguruan Tinggi Swasta) di luar 467.000 mahasiswa yang menerima Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi dan KIP Kuliah. Dana bantuan pandemi ini khusus untuk mahasiswa dengan kondisi keuangan yang terkena dampak pandemi. Adapun kriteria mahasiswa yang dapat menerima dana bantuan pandemi, yakni:

  1. kendala finansial (orang tua atau penanggung biaya kuliah mengalami kendala finansial dan tidak sanggup membayar UKT semester ganjil 2020);
  2. status beasiswa (tidak sedang dibiayai program KIP Kuliah atau program beasiswa lainnya yang membiayai UKT secara penuh maupun sebagian);
  3. jenjang kuliah (mahasiswa PTS dan PTN yang sedang menjalankan perkuliahan semester ganjil tahun 2020).

Menyikapi hal itu, beberapa mahasiswa memberikan tanggapan yang bervariasi. Mayoritas dari mereka menyambut baik kebijakan ini. Sedangkan, sebagian lagi memberikan tanggapan bernada skeptis. Mereka berasumsi bahwa kebijakan ini hanya sekedar wacana untuk menenangkan kegelisahan mahasiswa di tengah pandemi.

Terlepas dari kontradiksi yang terjadi, semua pihak berharap wabah ini segera berakhir, sehingga aktivitas dapat kembali normal seperti sediakala. ***Fitri Ayu Febrianti

Referensi:

[1] Kemendikbud. (2020). Kemendikbud Luncurkan Tiga Kebijakan Dukung Mahasiswa dan Sekolah yang Terdampak Covid-19. [daring], dapat diakses di: Kemendikbud.go.id/main/blog/2020/06/kemendikbud-luncurkan-tiga-kebijakan-dukung-mahasiswa-dan-sekolah-terdampak-covid-19