Oleh : Vela Rostwentivaivi

Coronavirus Disease 2019 atau yang lebih dikenal dengan Covid-19 menjadi permasalahan global terhadap perekonomian dunia. Virus ini pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada penghujung tahun 2019 dan telah menyebar ke seluruh dunia serta menyebabkan pandemi global. Masuknya Covid-19 di Indonesia pada bulan Februari 2020 menimbulkan kepanikan di seluruh lapisan masyarakat. Pandemi Covid-19 yang mendera Indonesia hampir 1,5 tahun terakhir ini memberikan banyak perubahan di sisi ekonomi, lingkungan, hingga kesejahteraan manusia. Dampak covid-19 pada perekonomian Indonesia ditandai dengan kebijakan penutupan wilayah atau penghentian aktivitas publik. Physical distancing maupun karantina mandiri juga dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini di masyarakat. Pembatasan aktivitas juga dilakukan di kantor, sekolah, tempat peribadatan, hingga tempat perbelanjaan. 

Laporan Bappenas 2020 mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II mengalami pelambatan dan terkontrasi hingga -5,32% (YoY) dan masih terkontraksi pada kuartal III sebesar -3,49% (YoY). Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya tingkat konsumsi masyarakat. Dari 17 sektor, terdapat 7 sektor yang mengalami pelambatan dan sisanya terkontraksi. Berdasarkan pertumbuhan PDB sisi produksi pada kuartal III tahun 2020 dimana sektor yang mengalami pertumbuhan melambat, antara lain pertanian (2,1%), pengadaan air (6%), informasi dan komunikasi (10,6%), real estate (2%), administrasi pemerintah (1,9%), jasa pendidikan (2,4%), serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial (15,3%). Sektor lainnya mengalami penurunan yang cukup drastis, seperti transportasi dan pergudangan (-16,7%), akomodasi makanan dan minuman (-11,9%), jasa perusahaan (-7,6%), jasa lainnya (-5,5%), perdagangan (-5%), konstruksi (-4,5%), pertambangan dan industri yang masing-masing (-4,3%), industri pengolahan (-4,0%), pengadaan listrik dan gas (-2,4%), serta jasa keuangan dan asuransi (-0,9%).

Data lain dari BPS tahun 2020 memaparkan sebesar 82,85% perusahaan terdampak Covid-19. Dilihat dari sektor usahanya, akomodasi makanan dan minuman merupakan sektor yang paling banyak mengalami penurunan pendapatan hingga 92,47%. Sektor jasa lainnya yang mengalami penurunan terbesar kedua sebesar 90,90%. Perusahaan lainnya adalah transportasi dan pergudangan, konstruksi, industri pengolahan, dan perdagangan. BPS juga menyebutkan 8,76% perusahaan berhenti beroperasi, 5,45% beroperasi dengan penerapan Work From Home (WFH) untuk sebagian pegawai, 2,05% menerapkan WFH untuk seluruh pegawai, 24,31% beroperasi dengan pengurangan kapasitas kerja (jam kerja mesin dan tenaga kerja), dan 58,95% beroperasi seperti biasa.

Berbagai upaya dilakukan perusahaan untuk mempertahankan tenaga kerjanya pada masa kontraksi perekonomian akibat Covid-19. Beberapa perusahaan mengalami perubahan pendapatan, yaitu sebanyak 82,85% pendapatan menurun, 14,60% tidak ada perubahan, serta 2,55% mengalami peningkatan pendapatan. 

Pengurangan jam kerja merupakan strategi yang paling banyak dilakukan oleh perusahaan dibandingkan dengan strategi lainnya. Pengurangan jam kerja dilakukan oleh 32,66% perusahaan, diikuti oleh langkah merumahkan karyawan (tidak dibayar/unpaid leave) sebesar 17,06%, memberhentikan pekerja dalam waktu singkat sebesar 12,83%, merumahkan tenaga kerja (pesangon dibayar sebagian) sebesar 6,46%, serta merumahkan tenaga kerja (dibayar penuh) sebesar 3,69%. Pengurangan jumlah karyawan lebih banyak terjadi pada usaha menengah dan besar dengan angka 46,64% dibandingkan dengan usaha kecil menengah sebesar 33,23%. 

Ketidakstabilan ekonomi berdampak pada 2 sisi, antara lain kontraksi pendapatan dan ruang konsumsi yang terbatas. Kondisi ini ditandai dengan penurunan keuntungan perusahaan, pengurangan gaji karyawan, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pengurangan tenaga kerja di perkotaan maupun perusahaan-perusahaan besar menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran dalam negeri. BPS menjelaskan persentase Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 7,07% pada periode Agustus 2020 dan sebesar 6,26% periode Februari 2021.

Penduduk usia kerja dikelompokkan menjadi 4 komponen, yaitu penganggur, bukan angkatan kerja, penduduk yang bekerja dengan status sementara tidak bekerja, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja. BPS (Agustus 2020) memaparkan dampak Covid-19 terhadap penduduk usia kerja berdasarkan jenis kelamin mencapai 17,75 juta orang (laki-laki), 11,37 juta orang (perempuan) serta berdasarkan tempat tinggal, yaitu 20,56 juta orang (perkotaan) dan 8,56 juta (perdesaan). Berdasarkan data distribusi kelompok umur, kelompok dewasa (25-59 tahun) adalah kelompok yang paling banyak terdampak  diantara kelompok lainnya. Kelompok umur muda (15-24 tahun) terdampak pada komponen pengangguran karena Covid-19 serta kelompok tua (60 tahun keatas) terdampak pada komponen Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena Covid-19.

BPS memaparkan data ketenagakerjaan yang diambil pada Agustus 2019, 2020, dan Februari 2021. Jumlah angkatan kerja Agustus 2020 mencapai 138,22 juta dimana angka ini naik sebesar 2,36 juta dibandingkan Agustus 2019. Jumlah ini meningkat 1,59 juta orang pada bulan Februari 2021 dengan total jumlah angkatan kerja mencapai 139,81 juta orang. Penduduk yang bekerja sebanyak 128,45 juta orang turun sebanyak 0,31 juta orang dari Agustus 2019. Jumlah ini meningkat 2,61 juta orang pada Februari 2021 dengan total penduduk yang bekerja sebanyak 131,06 juta orang. Penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19 mencapai 29,12 juta orang (14,28%), diantaranya 2,56 juta orang menjadi pengangguran akibat Covid-19 (Agustus 2020) dan menurun menjadi 1,62 juta orang (Februari 2021).

Melihat dari data yang tersaji, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia awal tahun 2021 membaik dibandingkan saat awal terjadinya pandemi Covid-19. Turunnya angka pengangguran disinyalir karena adanya pemulihan ekonomi yang terjadi pada seluruh lini sektor. Dengan adanya stimulus pemerintah, konsumsi masyarakat semakin meningkat dan roda perekonomian secara makro mengalami peningkatan secara perlahan. Namun begitu, angka pengangguran di Indonesia yang diakibatkan oleh pandemi masih cukup tinggi. Naiknya angka pengangguran juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah angkatan kerja yang tersedia, yaitu angkatan yang baru menyelesaikan studi.

Beberapa strategi dapat diterapkan untuk menyerap tenaga kerja yang ada. Pertama, pembangunan daerah tertinggal dan terpencil dengan pengadaan fasilitas transportasi dan komunikasi. Kedua, perlu adanya penyederhanaan perizinan penanaman modal baik asing maupun dalam negeri. Ketiga, wirausaha dan industri kreatif. Pemerintah sebaiknya memberikan stimulus modal usaha bagi industri kreatif yang baru memulai usaha. Kegiatan yang akan berjalan perlu pendampingan maksimal untuk menunjang perputaran usaha baru. Terakhir, peningkatan teknik pemasaran produk online. Digitalisasi yang semakin berkembang menuntut usaha-usaha baru yang lebih kreatif dan bergerak cepat. (*)

Penulis, Dosen Program Studi Agribisnis Universitas Garut, Mahasiswi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB