kandaga.id – Sekolah yang masuk ke dalam Program Sekolah Penggerak (PSP) punya kewajiban, salah satunya fokus pada Profil Pelajar Pancasila dalam pengembangan hasil belajar peserta didik secara holistik dengan menghasilkan kepribadian, gotong-royong dan mandiri.

Dalam pengembangan melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila ini tentunya dibutuhkan refrensi yang matang dan jelas sasaran kedepannya.

SMPN 6 Garut salah satunya, sekolah dari sepuluh sekolah negeri di Kabupaten Garut yang masuk Program Sekolah Penggerak (PSP), dengan berani mengambil Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pada Tanaman Hidroponik.

Terdengarnya agak rancu, bahkan ada yang mencemooh dan mencibirnya, apalagi dengan terdengar, terlihat di masyarakat yang bercocok tanam hidroponik ini banyak menemui kegagalan.

Justeru berangkat dari situlah, SMPN 6 Garut dengan berani mengambil resiko dan merasa yakin 10 -20 tahun yang akan datang, tanaman hidroponik akan jadi trends dan dibutuhkan masyarakat.

“Saya penasaran, kenapa banyak yang gagal dan sedikit yang berhasil? Kami perlu menggali informasi dari ahlinya dan telah berhasil dengan sukses tentang hidroponik, peserta didik perlu tahu dan bisa, karena kedepannya pasti anak didik ini akan ada yang mencoba hidroponik,” ucap Kepala SMPN 6 Garut, Sudarsono, S.Pd., M.Pd., saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (10/11/2021).

Intinya, lanjut Sudarsono, sekolah itu kan mendidik, memberikan pelajar kepada peserta didik sebagai generasi, supaya dikemudian hari mereka mampu dan bisa mengembangkan diri khususnya untuk diri sendiri serta ditularkan pada generasi selanjutnya.

“Dari pembelajaran projek tersebut bukan hasilnya, namun yang paling utama adalah proses pembelajaran untuk menanamkan Profil Pelajar Pancasila yaitu dimensi gotong-royong, bernalar kritis dan mandiri,” ucapnya.

Melalui proses pembelajaran tersebut, terang Sudarsono, selain memberikan ilmu pengetahuan atau life skill kepada peserta didik, untuk kehidupannya dimasa yang akan datang.

“Coba bayangkan, sekarang sawah atau kebun untuk bercocok tanam sudah mulai berkurang. Apalagi diperkotaan, lahan untuk bercocok tanam tidak ada. Pada akhirnya, mereka akan membudidayakan tanaman hidroponik,” ucapnya.

Dalam hal pembelajaran projek ini, tambah Sudarsono, tidak hanya melibatkan guru-guru yang ada di sekolah, akan tetapi juga menghadirkan narsum yang kompeten dalam bidangnya.

“Hal ini untuk menguatkan pemahaman tentang hidroponik bukan hanya menerapkan teori akan tetapi merupakan best practice dari narsum itu sendiri,” tambahnya.

Selain itu, Sudarsono berharap, tumbuhnya kesadaran seluruh warga sekolah akan pentingnya penghijauan guna menjaga iklim global yang semakin menghawatirkan, sekaligus menyadarkan bahwa sekecil apapun lahan yang kita miliki harus dapat dimanfaatkan untuk kehidupan kita. ***Jajang Sukmana